dunia kang ouw asmaraman kho ping hoo
beliuntuk melengkapi koleksi Anda Kami juga menyediakan DVD serial silat dan cerita silat karya penulis Indonesia lainnya' 'DUNIA KANG OUW ASMARAMAN S KHO PING HOO October 12th, 2018 - Pria peranakan ini dilahirkan dengan nama Kho Ping Hoo pada tanggal 17 Agustus 1926 di Sragen yaitu sebuah kota di kaki gunung Lawu 5 / 46
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo E-book : Pembunuhan Panglima Ciang. Makan minum bersama lima orang itu berlangsung gembira. Diam-diam Bi Lan merasa heran betapa Hwa mempunyai hubungan dengan Ouw Kan, datuk suku Uigur yang dulu membunuh neneknya dan menculiknya. Baru setelah tahu apa yang hendak dilakukan
CERITASILAT DAN EBOOK SILAT MANDARIN KHO PING HOO DAN. DUNIA KANG OUW DOWNLOAD PENDEKAR BUTA. CERSIL MATEMATRICK. ASMARAMAN SUKOWATI KHO PING HOO SERIAL PENDEKAR SAKTI BU. PENDEKAR BUTA KHO ALICANTE2017 ORG ES. SERIAL PEDANG KAYU HARUM 1 PETUALANG ASMARA. emas 03 cinta''DUNIA KANG OUW ASMARAMAN S KHO PING HOO May 8th, 2018 - Pria peranakan
Bukudan Ebook Gratis kho ping hoo download Cersil Kho. DUNIA KANG OUW DOWNLOAD PENDEKAR BUDIMAN. Kho Ping Hoo sang legenda CerSil Indonesia KASKUS. Kho Ping Hoo pustaka silat maya. PENDEKAR BUDIMAN JILID 1 ASMARAMAN S KHO PING HOO YouTube. Kho Ping Hoo iPaper 'DUNIA KANG OUW ASMARAMAN S KHO PING HOO May 2nd, 2018 - Pria peranakan ini
khoping hoo baca online gratis. sekilas asmaraman s kho ping hoo klik photo. cerita silat dan ebook silat mandarin kho ping hoo dan. dunia kang ouw asmaraman s kho ping hoo. pedang kayu harum cersil online karya kho ping hoo. kho ping hoo â€" serial siang bhok kiam koleksi cerita silat. serial pendekar sakti bupunsu 4 rajawali emas.
mở khóa khi bị chặn đăng bài lên nhóm page.
Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo Serial Bu Kek SianSu JILID 01 PAGI ITU bukan main indahnya di dalam hutan di lereng pegunungan Jeng Hoa San Gunung Seribu Bunga. Matahari muda memuntahkan cahayanya yang kuning keemasan ke permukaan bumi, menghidupkan kembali rumput-rumput yang hampir lumpuh oleh embun, pohon-pohon yang lenyap ditelan kegelapan malam, bunga-bunga yang menderita semalaman oleh hawa dingin menusuk. Cahaya kuning emas yang membawa kehangatan, keindahan, dan penghidupan itu mengusir halimun tebal, dan halimun lari pergi dari cahaya raja kehidupan itu, meninggalkan butiran-butiran embun yang kini menjadi penghias ujung-ujung daun dan rumput membuat bunga-bunga yang beraneka warna itu seperti dara-dara muda jelita sehabis mandi, segar dan berseri-seri. Cahaya matahari yang lembut itu tertangkis oleh daun dan ranting pepohonan hutan yang rimbun. Namun kelembutannya membuat cahaya itu dapat juga menerobos di antara celah-celah daun dan ranting sehingga sinar kecil memanjang yang tampak jelas di antara bayang-bayang pohon meluncur ke bawah, di sana-sini bertemu dengan pantulan air membentuk warna pelangi yang amat indahnya, warna yang dibentuk oleh segala macam warna terutama oleh warna dasar merah, kuning dan biru. Indah! Bagi mata yang bebas dari segala ikatan, keindahan itu makin terasa. Keindahan yang baru dan yang senantiasa akan nampak baru biar pun andaikata dilihat setiap hari. Sebelum cahaya pertama yang kemerahan dari matahari pagi tampak, keadaan hutan di lereng itu sunyi senyap. Yang mula-mula membangunkan hutan itu adalah kokok ayam hutan yang pendek dan nyaring sekali. Kokok yang tiba-tiba dan mengejutkan, susul-menyusul dari beberapa penjuru. Kokok ayam jantan inilah yang menggugah para burung yang tadinya diselimuti kegelapan malam, menyembunyikan muka di bawah selimut tebal dan hangat dari sayap mereka. Kini terjadilah gerakan-gerakan hidup di setiap pohon besar dan terdengar kicau burung yang sahut-menyahut, bermacam-macam suaranya, bersaing indah dan ramai namun kesemuanya memiliki kemerduan yang khas. Sukar bagi telinga untuk menentukan mana yang lebih indah, karena suara yang bersahut-sahutan itu merupakan kesatuan seperangkat alat musik yang dibunyikan bersama. Yang ada pada telinga hanya indah! Sukar dikatakan mana yang lebih indah, suara burung-burung itu sendiri ataukah keheningan kosong yang terdapat di antara jarak suara-suara itu. Anak laki-laki itu masih amat kecil, tidak akan lebih dari tujuh tahun usianya. Dia berdiri seperti sebuah patung, berdiri di tempat datar yang agak tinggi di hutan Gunung Seribu Bunga itu, menghadap ke timur. Sudah ada setengah jam lebih dia berdiri seperti itu. Hanya matanya saja yang bergerak-gerak, mata yang lebar yang penuh sinar ketajaman dan kelembutan, seperti biasa mata kanak-kanak yang hidupnya masih bebas dan bersih, namun di antara kedua matanya, kulit di antara alis itu agak terganggu oleh garis-garis lurus. Aneh juga melihat seorang anak kecil seperti itu sudah ada keriput di antara kedua alisnya! Anak itu pakaiannya sederhana sekali, biar pun amat bersih seperti bersihnya tubuhnya, dari rambut sampai ke kuku jari tangannya yang terpelihara dan bersih. Wajahnya biasa saja, seperti anak-anak lain dengan bentuk muka yang tampan. Hanya matanya dan keriput di antara matanya itulah yang jarang terdapat pada anak-anak dan membuat dia menjadi seorang anak yang mudah mendatangkan kesan pada hati pemandangnya sebagai seorang anak yang aneh dan tentu memiliki sesuatu yang luar biasa. Sepasang mata anak itu bersinar-sinar penuh seri kehidupan ketika dia tadi melihat munculnya bola merah besar di balik puncak gunung sebelah timur. Bola merah yang amat besar dan yang mula-mula merupakan pemandangan yang amat menarik hati, akan tetapi lambat laun merupakan benda yang tak kuat lagi mata memandangnya karena cahaya yang makin menguning dan berkilauan. Maka dia mengalihkan pandangannya, kini menikmati betapa cahaya yang tiada terbatas luasnya itu menghidupkan segala sesuatu, dari puncak pegunungan sampai jauh di sana, di bawah kaki gunung. Anak itu lalu menanggalkan pakaiannya, satu semi satu dengan gerakan sabar dan tidak tergesa-gesa, tanpa menengok ke kanan-kiri karena selama ini dia tahu bahwa di pagi hari seperti itu tidak akan ada seorang pun manusia kecuali dirinya sendiri berada di situ. Dengan telanjang bulat dia lalu menghampiri sebuah batu dan duduk bersila menghadap matahari. Duduknya tegak lurus, kedua kakinya bersilang dan napasnya masuk keluar dengan halus tanpa diatur, tanpa paksaan seperti pernapasan seorang bayi sedang tidur nyenyak. Sudah beberapa tahun dia melakukan ini setiap hari, duduk sambil mandi cahaya matahari selama dua tiga jam sampai semua tubuhnya bermandi peluh dan terasa panas barulah dia berhenti. Juga di waktu malam terang bulan, dia duduk pula di batu itu, telanjang bulat, mandi cahaya bulan purnama selama tujuh malam, kadang-kadang sampai lupa diri dan duduk bersila sampai setengah tidur, dan barulah dia berhenti kalau tubuh sudah hampir membeku dan bulan sudah lenyap bersembunyi di balik puncak barat. Anak yang luar biasa! Memang. Demikian pula penduduk di sekitar pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya Sin Tong Anak Ajaib, demikianlah nama anak ini yang diketahui orang. Anak ajaib, anak sakti dan lain-lain sebutan lagi. Karena semua orang menyebutnya Sin Tong dan memang dia sendiri tidak pernah mau menyatakan siapa namanya, maka anak itu sudah menjadi terbiasa dengan sebutan ini dan menganggap namanya Sin Tong! Mengapakah orang-orang dusun, penghuni semua dusun di sekitar lereng dan kaki pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya anak ajaib? Hal ini ada sebabnya, yaitu karena anak berusia tujuh tahun itu pandai sekali mengobati penyakit dengan memberi daun-daun, buah-buah, dan akar-akar obat yang benar-benar manjur sekali! Hampir semua penduduk yang terkena penyakit datang ke lereng Hutan Seribu Bunga, yaitu nama hutan di mana anak itu tinggal karena di antara sekalian hutan di Pegunungan Seribu Bunga, hutan inilah yang benar-benar tepat disebut Hutan Seribu Bunga dengan tetumbuhan beraneka warna, penuh dengan bunga-bunga indah, terutama sekali pada musim semi. Dan anak ini akan memberi daun atau akar obat dengan hati terbuka, dengan tulus ikhlas, suka rela dan selalu menolak kalau diberi uang! Maka berduyun-duyun orang dusun datang kepadanya dan diam-diam memujanya sebagai seorang anak ajaib, sebagai dewa yang menjelma menjadi seorang anak-anak yang menolong dusun-dusun itu dari malapetaka. Bahkan ketika terjangkit penyakit menular, penyakit demam hebat yang menimbulkan banyak korban tahun lalu, bocah ajaib inilah yang membasminya dengan memberi akar-akar tertentu yang harus diminum airnya setelah dimasak. Dengan akar itu, yang sakit banyak tertolong dan yang belum terkena penyakit tidak akan ketularan. Ketika orang-orang dusun itu, terutama yang wanita, datang membawa pakaian baru yang sudah dijahit rapi, anak itu tak dapat menolak, dan menyatakan terima kasihnya dengan butiran air mata menetes di kedua pipinya. Akan tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Karena jasa orang-orang dusun ini, maka anak itu selalu berpakaian sederhana sekali, potongan dusun’. Siapakah sebetulnya anak kecil ajaib yang menjadi penghuni Hutan Seribu Bunga seorang diri saja itu? Benarkah dia seorang dewa yang turun dari kahyangan menjadi seorang anak-anak untuk menolong seorang manusia, seperti kepercayaan para penduduk di pegunungan Tibet sehingga banyak terdapat Lama yang dianggap sebagai Sang Buddha sendiri yang menjelma’ menjadi anak-anak dan menjadi calon Lama? Sebetulnya tentu saja tidak seperti ketahyulan yang dipercaya oleh orang-orang yang memang suka akan ketahyulan dan suka akan yang ajaib-ajaib itu. Anak itu dahulunya adalah anak tunggal dari Keluarga Kwa di kota Kun-Leng, sebuah kota kecil di sebelah timur pegunungan Jeng-hoa-san. Dia bernama Kwa Sin Liong, dan nama Sin Liong Naga Sakti ini diberikan kepadanya karena ketika mengandungnya, ibunya mimpi melihat seekor naga beterbangan di angkasa di antara awan-awan. Ada pun ayah Sin Liong adalah seorang pedagang obat yang cukup kaya di kota Kun-leng. Akan tetapi malapetaka menimpa keluarga ini ketika malam hari tiga orang pencuri memasuki rumah mereka. Tadinya tiga orang penjahat ini hendak melakukan pencurian terhadap keluarga kaya ini, akan tetapi ketika mereka memasuki kamar, ayah dan ibu Sin Liong mempergoki mereka. Karena khawatir dikenal, tiga orang itu lalu membunuh ayah-bunda Sin Liong dengan bacokan-bacokan golok. Ketika itu Sin Liong baru berusia lima tahun dan di tempat remang-remang itu melihat betapa ayah-bundanya dihujani bacokan golok dan roboh mandi darah, tewas tanpa sempat berteriak. Saking ngeri dan takutnya, Sin Liong seperti berubah menjadi gagu, matanya melotot dan dia tidak bisa mengeluarkan suara. Karena ini, tiga orang pencuri itu tidak melihat anak kecil di kamar yang gelap itu. Mereka terutama sibuk mengumpulkan barang-barang berharga dan mereka itu juga panik, ingin lekas-lekas pergi karena mereka telah terpaksa membunuh tuan dan nyonya rumah. Setelah para penjahat itu keluar dari kamar, barulah Sin Liong dapat menjerit, menjerit sekuat tenaganya sehingga malam hari itu terkoyak oleh jeritan anak ini. Para tetangga mereka terkejut dan semua pintu dibuka, semua laki-laki berlari ke luar dan melihat tiga orang yang tidak dikenal keluar dari rumah keluarga Kwa membawa buntalan-buntalan besar. Segera terdengar teriakan, "Maling…maling!" Orang-orang itu mengurung tiga penjahat ini. Beberapa orang lari memasuki rumah keluarga Kwa dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat suami-isteri itu tewas dalam keadaan mandi darah. Sedangkan Sin Liong terlihat menangisi kedua orang-tuanya, memeluki mereka sehingga muka, tangan dan pakaian anak itu penuh dengan darah ayah-bundanya. "Pembunuh! Mereka membunuh keluarga Kwa!" orang yang menyaksikan mayat kedua orang itu segera lari keluar dan berteriak-teriak. "Manusia kejam! Tangkap mereka!" "Tidak! Bunuh saja mereka!" "Tubuh suami-istri Kwa hancur mereka cincang!" "Bunuh!" "Serbu...!" Dan terjadilah pergumulan atau pertandingan yang berat sebelah. Tiga orang itu terpaksa melakukan perlawanan untuk membela diri, akan tetapi mana mereka itu, maling-maling biasa, mampu menahan serbuan puluhan bahkan ratusan orang yang marah dan haus darah? Ketika pengeroyokan di luar rumahnya sedang terjadi, anak laki-laki itu keluar dari dalam, mukanya penuh darah, kedua tangannya dan pakaiannya juga. Dia melangkah ke luar seperti dalam mimpi, mukanya pucat sekali dan matanya yang lebar itu terbelalak memandang penuh kengerian. Dia berdiri di depan pintu rumahnya, matanya makin terbelalak memandang apa yang terjadi di depan rumahnya. Jelas tampak olehnya betapa para tetangganya itu, seperti sekumpulan serigala buas, menyerang dan memukuli tiga orang pencuri tadi, para pembunuh ayah-bundanya. Terdengar olehnya betapa pencuri-pencuri itu mengaduh-aduh merintih-rintih, minta-minta ampun dan terdengar pula suara bak-bik-buk ketika kaki tangan dan senjata menghantami mereka. Mereka bertiga telah roboh, tapi terus digebuki, dibacok, dihantam dan darah muncrat-muncrat. Akhirnya tubuh tiga orang itu berkelojotan, dan suara yang aneh keluar dari tenggorokan mereka. Akan tetapi orang-orang yang marah dan haus darah itu, yang menganggap bahwa apa yang mereka lakukan ini sudah baik dan adil, terus saja menghantami tiga orang manusia sial itu sampai tubuh mereka remuk dan tidak tampak seperti tubuh manusia lagi, patutnya hanya onggokan-onggokan daging hancur dan tulang-tulang patah! Saat semua orang sudah merasa puas, juga mulai ngeri melihat hasil perbuatan sendiri, barulah mereka menghentikan pengeroyokan terhadap tiga mayat itu dan kemudian memasuki rumah keluarga Kwa. Tapi Sin Liong sudah tidak berada di situ! Kiranya bocah ini, yang baru saja tergetar jiwanya, tergores penuh luka melihat ayah-bundanya dibacoki dan dibunuh, ketika melihat tiga orang pembunuh itu dikeroyok dan disiksa, jiwanya makin terhimpit, luka-luka dihatinya makin banyak dan dia tidak kuat menahan lagi. Dilihatnya wajah orang-orang itu semua seperti wajah iblis, dengan mata bernyala-nyala penuh kebencian dan dendam, penuh nafsu membunuh, dengan mulut terngangga seolah-olah tampak taring dan gigi meruncing, siap untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya. Dia merasa ngeri, merasa seolah-olah berada di antara sekumpulan iblis. Maka sambil menangis tersedu-sedu Sin Liong lalu lari meninggalkan tempat itu, meninggalkan rumahnya, meninggalkan kota Kun-leng, terus berlari ke arah pegunungan yang tampak dari jauh seperti seorang manusia sedang rebahan, seorang manusia dewa yang sakti, yang akan melindunginya dari kejaran iblis itu! Seperti orang kehilangan ingatan, semalam itu Sin Liong terus berlari sampai pada keesokan harinya. Saking lelahnya, dia tersaruk-saruk di kaki pegunungan Jeng-hoa-san, kadang-kadang tersandung kakinya dan jatuh menelungkup, bangun lagi dan lari lagi, terhuyung-huyung dan akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi dia terguling roboh pingsan di dalam sebuah hutan di lereng bagian bawah pegunungan Jeng-hoa-san. Setelah siuman, anak kecil berusia lima tahun ini melanjutkan perjalanannya, dan beberapa hari kemudian tibalah dia di sebuah hutan penuh bunga karena kebetulan pada waktu itu adalah musim semi. Di sepanjang jalan mendaki pegunungan, kalau perutnya sudah mulai lapar, anak ini memetik buah-buahan dan makan daun-daunan, memilih yang rasanya segar dan tidak pahit sehingga dia tidak sampai kelaparan. Di dalam hutan seribu bunga itu Sin Liong terpesona, merasa seperti hidup di alam lain, di dunia lain. Tempat yang hening dan bersih, tidak ada seorang pun manusia. Kalau dia teringat akan manusia, dia bergidik dan menangis saking takut dan ngerinya. Dia telah menyaksikan kekejaman-kekejaman yang amat hebat. Bukan hanya kekejaman orang-orang yang merenggut nyawa ayah-bundanya, yang memaksa ayah-bundanya berpisah darinya dan mati meninggalkannya, akan tetapi juga melihat kekejaman puluhan orang tetangga yang menyiksa tiga orang itu sampai mati dan hancur tubuhnya, Dia bergidik dan ketakutan kalau teringat akan hal itu. Di dalam Hutan Seribu Bunga itulah dia merasakan keamanan, kebersihan, dan keheningan yang menyejukkan perasaan. Mula-mula Sin Liong tidak mempunyai niat untuk kembali ke kotanya karena ia masih terasa ngeri, tidak ingin melihat ayah-bundanya yang berlumuran darah, tak ingin melihat mayat tiga orang pencuri yang rusak hancur. Ketika dia tiba di hutan Jeng-hoa-san itu dan melihat betapa tubuh dan pakaiannya ternoda darah yang baunya amat busuk, dia cepat mandi dan mencuci pakaian di anak sungai yang terdapat di hutan itu, anak sungai yang airnya keluar dari sumber air, jernih dan sejuk sekali. Mula-mula memang dia tidak ingin pulang karena kengerian hatinya, akan tetapi setelah dua tiga bulan bersembunyi’ di tempat itu, timbul rasa cintanya terhadap Hutan Seribu Bunga dan dia kini tidak ingin pulang sama sekali karena dia telah menganggap hutan itu sebagai tempat tinggalnya yang baru! Di dekat pohon peak yang besar, terdapat bukit batu dan di situ ada goanya yang cukup besar untuk dijadikan tempat tinggal, dijadikan tempat berlindung dari serangan hujan dan angin. Goa ini dibersihkannya dan menjadi sebuah tempat yang amat menyenangkan. Demikianlah, anak ini tidak tahu sama sekali bahwa harta kekayaan orang-tuanya yang tidak mempunyai keluarga dan sanak kadang lainnya, telah dijadikan perebutan antara para tetangga sampai habis ludes sama sekali! Dengan alasan mengamankan’ barang-barang berharga dari rumah kosong itu, para tetangga telah memperkaya diri sendiri. Mereka ini tetap tidak tahu, atau tidak mengerti bahwa mereka telah mengulangi perbuatan tiga orang pencuri yang mereka keroyok dan bunuh bersama itu. Mereka juga melakukan pencurian, sungguh pun caranya tidak sekasar’ yang dilakukan para pencuri. Jika dinilai, pencurian yang dilakukan para tetangga dan sahabat’ ini jauh lebih kotor dan rendah daripada yang dilakukan oleh tiga orang pencuri dahulu itu. Para pencuri itu melakukan pencurian dengan sengaja dan terang-terangan sebagai pencuri, tidak berselubung apa-apa, dan kejahatannya itu memang terbuka, sebagai orang-orang yang mengambil barang orang lain di waktu Si Pemilik sedang lengah atau tertidur. Namun, apa yang dilakukan oleh para tetangga itu adalah pencurian terselubung, dengan kedok menolong’, sehingga kalau dibuat takaran, kejahatan mereka itu berganda. Pertama, jahat seperti Si Pencuri biasa karena mengambil dan menghaki milik orang lain. Kedua, jahat karena telah bersikap munafik, melakukan kejahatan dengan selubung kebaikan’. Demikianlah sampai dua tahun lamanya anak berusia lima tahun ini tinggal seorang diri di dalam Hutan Seribu Bunga. Sebagai putera seorang ahli pengobatan, biar pun ketika itu usianya baru lima tahun, sedikit banyak Sin Liong tahu akan daun-daun dan akar obat, bahkan sering dia ikut ayahnya mencari daun-daun obat di gunung-gunung. Setelah kini dia hidup seorang diri di dalam hutan, bakatnya akan ilmu pengobatan mendapat ujian dan pemupukan secara alam. Dia harus makan setiap hari. Untuk keperluan ini, dia telah pandai memilih dari pengalaman, mana daun yang berkhasiat dan mana yang enak, mana pula yang beracun dan sebagainya. Selama dua tahun itu, dengan pakaian cabik-cabik tidak karuan, sering pula dia terserang sakit dan dari pengalaman ini pula dia dapat memilih daun-daun dan akar-akar obat, bukan dari pengetahuan, melainkan dari pengalaman. Mungkin karena tidak ada sesuatu lainnya yang menjadikan bahan pemikiran, maka anak ini dapat mencurahkan semua perhatiannya terhadap pengenalan akan daun dan akar serta buah dan kembang yang mengandung obat ini sehingga penciumannya amat tajam terhadap khasiat daun dan akar obat. Dengan menciumnya saja dia dapat menentukan khasiat apakah yang terkandung dalam suatu daun, bunga, buah atau pun akar! Tidak kelirulah kata-kata orang bahwa pengalaman adalah guru terpandai. Tentu saja kata-kata itu baru terbukti kebenarannya kalau seseorang memiliki rasa kasih terhadap yang dilakukannya itu. Dan memang di lubuk hati Sin Liong, dia mempunyai rasa kasih yang menimbulkan suka, dan suka ini menimbulkan kerajinan untuk mempelajari khasiat bunga-bunga dan daun-daun yang banyak sekali macamnya dan tumbuh di dalam Hutan Seribu Bunga itu. Selain mempelajari khasiat tumbuh-tumbuhan, bukan hanya untuk menjadi makanan sehari-hari akan tetapi juga untuk pengobatan, Sin Liong mempunyai kesukaan lain lagi yang timbul dari rasa kasihnya kepada alam, kasih yang sepenuhnya dan yang mungkin sekali timbul karena dia merasa hidup sebatang-kara dan juga timbul karena melihat kekejaman yang menggores di kalbunya akan perbuatan manusia ketika ayah ibunya dan tiga orang pencuri itu tewas. Di tempat itu dia melihat kedamaian yang murni, kewajaran yang indah, dan tidak pernah melihat kepalsuan-kepalsuan, tidak melihat kekejaman. Rasa kasih kepada alam ini membuat dia amat peka terhadap keadaan sekelilingnya, membuat perasaannya tajam sekali sehingga dia dapat merasakan betapa hangat dan nikmatnya sinar matahari pagi, betapa lembut dan sejuk segarnya sinar bulan purnama sehingga tanpa ada yang memberi tahu dan menyuruh hampir setiap pagi dia bertelanjang mandi cahaya matahari pagi dan setiap bulan purnama dia bertelanjang mandi sinar bulan purnama. Tanpa disadarinya, tubuhnya telah menerima dan menyerap inti tenaga mukjijat dari bulan dan matahari, yang membuat darahnya bersih, tulangnya kuat dan tenaga dalam di tubuhnya makin terkumpul di luar kesadarannya. Setelah keringat membasahi seluruh tubuh dan beberapa kali memutar tubuhnya yang duduk bersila di atas batu, Sin Liong turun dari batu itu, menghapus peluh dengan sapu-tangan lebar. Setelah tubuhnya tidak berkeringat lagi, setelah dibelai bersilirnya angin pagi, dia mengenakan lagi pakaiannya dan pergi mengeluarkan bunga, daun, buah dan akar obat dari dalam goa untuk dijemur dibawah sinar matahari. Inilah yang menjadi pekerjaannya sehari-hari, selain mencangkok, memperbanyak dan menanam tanaman-tanaman yang berkhasiat. Menjelang tengah hari, mulailah berdatangan penduduk yang membutuhkan obat. Di antara mereka terdapat pula beberapa orang kang-ouw yang kasar dan menderita luka beracun dalam pertempuran. Untuk mereka semua, tanpa pandang bulu, Sin Liong memberikan obatnya setelah memeriksa luka-luka dan penyakit yang mereka derita. Lebih dari lima belas orang datang berturut-turut minta obat dan yang datang terakhir adalah seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi besar, di punggungnya tergantung golok dan dia datang terpincang-pincang karena pahanya terluka hebat, luka yang membengkak dan menghitam. "Sin-tong, kau tolonglah aku..." Begitu tiba di depan goa dimana Sin Liong duduk dan memotong-motong akar basah dengan sebuah pisau kecil, laki-laki bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar itu menjatuhkan diri dan merintih kesakitan. Sin Liong mengerutkan alisnya. Di antara orang-orang yang minta pengobatan, dia paling tidak suka melihat orang kang-ouw yang dapat dikenal dari sikap kasar dan senjata yang selalu mereka bawa. Namun belum pernah dia menolak untuk mengobati mereka, bahkan diam-diam dia menilai mereka itu sebagai orang-orang yang berwatak serigala, yang haus darah, yang selalu saling bermusuhan dan saling melukai, sehingga mereka ini merupakan manusia-manusia yang patut dikasihani karena tidak mengenal apa artinya ketentraman, kedamaian, dan kasih antar manusia yang mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan. "Orang tua gagah, bukankah dua bulan yang lalu kau pernah datang dan minta obat karena luka di lengan kirimu yang keracunan?" tanyanya sambil menatap wajah berkulit hitam itu. "Benar, benar sekali, Sin-tong. Aku adalah Sin-hek-houw Macan Hitam Sakti yang dahulu terkena senjata jarum beracun di lenganku. Akan tetapi sekarang aku menderita luka lebih parah lagi. Pahaku terbacok pedang lawan dan celakanya pedang itu mengandung racun yang hebat sekali. Kalau kau tidak segera menolongku, aku akan mati, Sin-tong." Sin Liong tidak berkata apa-apa lagi. Ia menghampiri orang yang di atas tanah itu, memeriksa luka mengangga di balik celana yang ikut terobek. Luka itu lebar dan dalam, luka yang tertutup oleh darah yang menghitam dan membengkak, bahkan ketika dipegang seluruh kaki itu terasa panas, tanda keracunan hebat! Sin Liong menarik nafas panjang. "Lo-eng-hiong, mengapa engkau masih saja bertempur dengan orang lain, saling melukai dan saling membunuh? Bukankah dahulu ketika kau datang ke sini pertama kali, pernah kau berjanji tidak akan lagi bertanding dengan orang lain?" Mata yang lebar itu melotot kemudian pandang matanya melembut. Tak mungkin dia dapat marah kepada anak ajaib ini. Seorang anak kecil berusia tujuh tahun dapat bicara seperti itu kepadanya, seolah-olah anak itu adalah seorang kakek yang menjadi pertapa dan hidup suci! "Sin-tong, aku adalah Sin-hek-houw, dan jangan kau menyebut Lo-eng-hiong Orang Tua Gagah kepadaku. Aku adalah seorang perampok, mengertikah kau? Seorang perampok tunggal yang mengandalkan hidup dari merampok orang lewat! Kalau aku tidak butuh barang, aku tentu tidak akan menganggu orang, dan kalau orang yang kumintai barangnya itu tidak melawan, aku tentu tidak akan menyerangnya. Akan tetapi, dua kali aku keliru menilai orang....” “Dahulu, aku menyerang seorang nenek yang kelihatan lemah, dan akibatnya lenganku terluka hebat. Sekarang, aku merampok seorang kakek yang kelihatan lemah, yang membawa barang berharga, dan akibatnya pahaku hampir buntung dan kini keracunan hebat. Kau tolonglah, aku akan berterima kasih kepadamu, Sin-tong. Dan aku datang kali ini juga akan mengabarkan sesuatu yang amat penting bagimu." "Lo-eng-hiong, aku tidak membutuhkan terima kasih dan balasan. Aku mengenal khasiat tetumbuhan di sini. Tetumbuhan itu tumbuh di sini begitu saja, mempersilakan siapa pun juga yang mengerti untuk memetik dan mempergunakannya, tanpa membeli, tanpa merampas dan tanpa menggunakan kekerasan. Aku hanya memetik dan menyerahkan kepadamu, perlu apa aku minta terima kasih dan balasan? Lukamu ini hebat. Seluruh kaki sudah panas, berarti darahmu telah keracunan. Untuk mengeluarkan racunnya yang masih mengeram di sekitar luka, sebaiknya luka itu dibuka agar dapat diobati, tidak seperti sekarang ini, ditutup oleh darah beracun yang mengering. Dapatkah kau membuka lukamu itu, Lo-enghiong?" Orang setengah tua itu membelalakan mata dan kembali dia kagum mendengar cara bocah itu bicara. Akan tetapi keheranannya lenyap ketika dia teringat bahwa bocah ini adalah Sin-tiong, anak ajaib! Maka dia lalu menghunus goloknya. Saat melihat berkelebatnya sinar golok, Sin Liong memejamkan matanya. Terbayang kembali tiga batang golok yang membacoki tubuh ayah-bundanya, dan banyak golok yang kemudian membacoki tubuh tiga orang pencuri itu. Sin-hek-houw menggunakan ujung goloknya untuk menusuk dan membuka kembali luka di pahanya. Dia mengeluh keras, akan tetapi lukanya sudah terbuka dan darah hitam mengucur ke luar. Dengan siksaan rasa nyeri yang hebat, Sin-hek-houw melemparkan goloknya dan menggunakan kedua tangannya memijit-mijit paha yang terasa nyeri itu. Sin Liong berlutut, menggunakan jari tangannya yang halus untuk bantu memijat sehingga darah makin banyak keluar. Darah hitam dan baunya membuat orang mau muntah! Akan tetapi Sin Liong yang melakukan hal itu dengan rasa kasih sayang di hati, dengan rasa iba yang mendalam dan tidak dibuat-buat dan tidak pula disengaja, menerima bau itu dengan perasaan makin terharu. “Betapa sengsara dan menderitanya orang ini,” hanya demikian bisikan hatinya. Dia lalu mengambil bubukan akar tertentu, menabur bubukan itu ke dalam luka yang mengangga. "Aduhhhhh... mati aku...!" kakek itu berseru keras ketika merasa betapa obat itu mendatangkan rasa nyeri seperti ada puluhan ekor lebah menyengat-nyengat bagian yang terluka itu. "Harap kau pertahankan, Lo-enghiong sebentar juga akan hilang rasa nyerinya. Jangan lawan rasa nyeri itu, hadapilah sebagai kenyataan dan ketahuilah bahwa bubuk itu adalah obat yang akan mengusir penyakit ini." Sambil berkata demikian, Sin Liong lalu menggunakan empat helai daun yang sudah diremas sehingga daun itu menjadi basah dan layu, kemudian ditutupnya luka itu dengan empat helai daun. Benar saja, rintihan orang itu makin perlahan tanda bahwa rasa nyerinya berkurang dan akhirnya orang itu menarik nafas panjang karena rasa nyerinya kini dapat ditahannya. "Harap Lo-enghiong membawa akar ini. Rebuslah dan minum airnya, khasiatnya untuk membersihkan racun yang masih berada di kakimu. Dengan demikian maka luka itu akan membusuk dan akan lekas sembuh. Obat bubuk dan daun-daun ini untuk mengganti obat setiap hari sekali, kiranya cukup untuk sepekan sampai luka itu sembuh sama sekali." Sin Liong berkata sambil membungkus obat-obat itu dengan sehelai daun yang lebar dan menyerahkannya kepada Sin-hek-houw. Orang kasar itu menerima bungkusan obat dan kembali menghela napas panjang. "Kalau saja aku dapat mempunyai seorang sahabat seperti engkau yang selalu berada di sampingku. Kalau saja aku dapat mempunyai seorang anak seperti engkau, kiranya aku tidak akan tersesat sejauh ini. Terima kasih, Sin-tong. Dan aku tidak dapat membalas apa-apa kecuali peringatan kepadamu bahwa engkau terancam bahaya besar." Sin Liong mengangkat muka memandang wajah berkulit hitam itu dengan heran. "Sin-tong, dunia kang-ouw telah geger dengan namamu. Aku dan orang-orang kang-ouw yang telah menerima pengobatanmu, membawa namamu di dunia kang-ouw dan terjadilah geger karena nama Sin-tong menjadi kembang bibir setiap orang kang-ouw. Banyak partai besar tertarik hatinya, menganggap engkau tentu penjelmaan dewa atau Sang Buddha. Kini telah banyak partai dan orang-orang gagah yang siap untuk datang ke sini untuk membujukmu menjadi anggota mereka atau menjadi murid orang-orang kang-ouw yang terkenal. Celakanya, di antara mereka itu terdapat dua orang manusia iblis yang lain lagi maksudnya, bukan maksud baik seperti tokoh dan partai persilatan, melainkan maksud keji terhadap dirimu." Sin Liong mengerutkan alisnya. Sedikit pun dia tidak merasa takut karena memang dia tidak mempunyai niat buruk terhadap siapa pun di dunia ini. "Lo-eng-hiong, aku hanya seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa, tidak mempunyai permusuhan dengan siapa pun juga. Siapa orangnya yang akan menggangguku?" Kakek itu memandang terharu. "Ahh...kau benar-benar seorang yang aneh dan bersih hatimu. Kalau aku memiliki kepandaian, aku akan melindungimu dengan seluruh tubuh dan nyawaku, bukan hanya karena dua kali kau menolongku, melainkan karena tidak rela aku melihat orang mau merusak seorang bocah ajaib seperti engkau ini. Akan tetapi dua orang iblis itu..." Sin-hek-houw menggiggil dan kelihatan jeri sekali. "Siapakah mereka dan apa yang mereka kehendaki dari aku?" "Di dunia kang-ouw banyak terdapat golongan sesat, manusia-manusia iblis, termasuk orang seperti aku. Akan tetapi dibandingkan dua orang yang kumaksudkan itu, mereka adalah dua ekor harimau buas sedangkan orang seperti aku hanyalah seekor tikus! Yang seorang adalah kakek berpakaian pengemis. Dia kelihatan seperti orang miskin yang alim, namun dialah iblis nomor satu, ketua Pat-Jiu Kai-pang, seorang yang memiliki rumah seperti istana dan wajahnya yang biasa dan alim menyembunyikan watak yang kejamnya melebihi iblis sendiri! Celakalah engkau kalau sudah berada di tangan kakek ini Sin-tong." "Hemmm, kurasa seorang kakek seperti dia tidak membutuhkan seorang anak kecil seperti aku. Aku tidak khawatir dia akan mengangguku, Lo-eng-hiong!" "Tidak aneh kalau kau berpendapat demikian, karena kau seorang anak ajaib yang berhati dan berpikiran polos dan murni. Akan tetapi aku khawatir sekali, apa lagi iblis kedua yang tidak kalah kejamnya. Dia seorang wanita cantik dan tak ada yang tahu berapa usianya. Wajahnya cantik, rambutnya panjang harum dan selalu membawa sebuah payung, kelihatannya lemah dan membutuhkan perlindungan. Akan tetapi, seperti iblis pertama, semua kecantikan dan kelemah-lembutannya itu menyembunyikan watak yang sesungguhnya, watak yang lebih keji dan kejam daripada iblis sendiri." "Lo-enghiong, harap saja Lo-enghiong tidak memburuk-burukkan orang lain seperti itu. Aku tidak percaya." Kakek itu menarik napas panjang lalu bangkit berdiri. "Aku sudah memberi peringatan kepadamu, Sin-tong. Dan kalau kau mau, marilah kau ikut aku bersembunyi di tempat aman sehingga tidak ada seorang pun yang tahu. Setelah keadaan benar aman barulah kau kembali ke sini. Aku mendengar berita angin bahwa dua iblis itu sedang menuju ke Jeng-hoa-san mencarimu." Namun Sin Liong menggeleng kepala. "Aku dibutuhkan oleh penduduk pedusunan si sini, aku tidak akan pergi ke mana-mana, Lo-enghiong." "Hemmm, sudahlah! Aku sudah berusaha memperingatkanmu. Mudah-mudahan saja benar-benar tidak terjadi seperti yang kukhawatirkan. Dan lebih-lebih lagi mudah-mudahan aku tidak akan terluka lagi seperti ini, sehingga kalau kau benar-benar sudah tidak berada lagi di sini, aku payah mencari obat. Selamat tinggal,Sin-tong, dan sekali lagi terima kasih." "Selamat jalan, Lo-enghiong. Semoga lekas sembuh." Orang itu berjalan menyeret kakinya yang terluka. Baru belasan langkah ia menoleh lagi dan berkata, "Benar-benarkah kau tidak mau ikut bersamaku untuk bersembunyi, Sin-tong?" Sin Liong tersenyum dan menggeleng kepala tanpa menjawab. "Sin-tong, siapakah namamu yang sesungguhnya?" "Aku disebut Sin-tong. Biar pun aku merasa seorang anak biasa, aku tidak tega menolak sebutan itu. Kau mengenalku sebagai Sin-tong, itulah namaku." Sin-hek-houw menggeleng kepala, lalu melanjutkan perjalanannya dan masih bergeleng-geleng sambil mulutnya mengomel, "Anak ajaib... anak ajaib! Sayang...," dan dia mengepal tinju, seolah-olah hendak menyerang siapa pun yang akan menganggu bocah yang dikaguminya itu. Beberapa hari kemudian semenjak Sin-hek-houw datang minta obat kepada Sin Liong, makin banyaklah orang yang datang membisikkan kepada anak itu tentang geger di dunia kang-ouw karena dirinya. Bermacam-macam berita aneh yang didengar oleh Sin Liong tentang ancaman dan lain-lain mengenai dirinya, namun dia sama sekali tidak ambil peduli dan tetap saja bersikap tenang dan bekerja seperti biasa, tidak pernah gelisah, bahkan sama sekali tidak pernah memikirkan tentang berita yang didengarnya itu. Beberapa pekan kemudian, pagi hari dari arah timur kaki pegunungan Jeng-hoa-san tampak berjalan sorang kakek seorang diri. Ia menoleh ke kanan dan kiri seolah-olah menikmati pemandangan alam di sekitar tempat itu. Kakek ini usianya tentu sudah enam puluhan tahun, tubuhnya kurus kecil, pakaiannya penuh tambalan. Wajahnya membayangkan kesabaran, dan mulut yang ompong itu bahkan selalu menyungging senyum simpul keramahan. Dia melangkah perlahan-lahan memasuki hutan pertama di kaki pegunungan Jeng-hoa-san. Langkahnya dibantu dengan ayunan sebatang tongkat butut yang berwarna hitam, agaknya terbuat dari semacam kayu yang sudah amat tua sehingga seperti besi saja rupanya. Agaknya dia seorang pengemis tua yang hidupnya serba kekurangan, namun yang dapat menyesuaikan diri sehingga tidak merasa kurang, bahkan kelihatannya gembira, menerima hidup apa adanya dan hatinya selalu senang. Buktinya ketika dia mendengar kicau burung-burung, kakek ini membuka mulutnya dan bernyanyi pula! Akan tetapi kata-kata dalam nyanyiannya itu tentu akan membuat setiap orang yang mendegarnya mengerutkan kening, karena selain aneh, juga menyimpang dari ajaran kebatinan umumnya! Apa artinya hidup kalau hati tak senang? Apa artinya hidup kalau segala keinginan tak terpenuhi? Puluhan tahun mempelajari ilmu, bekal memenuhi segala kehendak Berenang dalam lautan kesenangan, mati pun tidak penasaran! Berkali-kali pengemis ini bernyanyi dengan kata-kata yang itu-itu juga. Suaranya halus dan cukup merdu, dan sambil bernyanyi dia mengatur irama lagu dengan ketukan tongkatnya di atas tanah lunak atau bila kebetulan mengenai batu yang keras, ujung tongkat itu tentu membuat lubang. Kedua kakinya yang bersepatu butut itu sendiri tidak meninggalkan jejak seolah-olah dia tidak menginjak tanah, akan tetapi tongkat itu membuat jejak jelas karena setiap kali melubangi tanah mau pun batu. Ada pun kaki itu sendiri, Biar pun menginjak tanah basah, sama sekali tidak meninggalkan bekas. Beberapa menit kemudian setelah kakek aneh ini lewat, tampak berkelebat bayangan orang, juga datang dari arah timur melalui kaki bukit itu. Mereka itu terdiri dari tiga belas orang laki-laki dari usia tiga puluh sampai empat puluh tahun, dan seorang wanita berusia dua puluh lima tahun, berwajah manis dan bertubuh bagus dengan pinggang ramping. Tiga belas orang laki-laki itu kesemuanya kelihatan gagah. Dari pakaian mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat, sedangkan gerakan mereka yang ringan cekatan membuktikan bahwa mereka bukanlah sembarangan orang kang-ouw, melainkan rombongan orang gagah yang berilmu. Hal ini memang tidak salah, karena mereka itulah yang terkenal dengan julukan Cap-sha Sin-hiap Tiga Belas Pendekar Sakti, murid-murid utama dari partai besar Bu-tong-pai! "Tahan dulu, para suheng!" tiba-tiba wanita cantik itu mengangkat tangannya ke atas dan memperingatkan para suheng-nya, kemudian dia menuding ke bawah dan berkata, "Lihat ini....!" Tiga belas orang ini memperhatikan bekas tusukan tongkat pengemis tadi yang jaraknya teratur dan biar pun tiba di atas batu, tetap saja tampak batu itu berlubang. "Siapa lagi kalau bukan dia?" kata gadis itu dengan alis berkerut. "Tenaga tusukan tongkat yang hebat" kata salah seorang. "Dan jejak kakinya tidak tampak. Tak salah lagi, Pat-jiu Kai-ong Raja Pengemis Berlengan Delapan, tentu telah lewat di sini, dan baru saja. Hayo cepat kita mengejarnya! Jangan sampai dia mendahului kita memasuki Hutan Seribu Bunga!" kata orang tertua di antara mereka, seorang berusia empat puluh tahun yang bermuka seperti harimau. Karena kini merasa yakin bahwa jejak lubang-lubang itu tentu dibuat oleh tongkat Pat-jiu Kai-ong, maka tiga belas orang tokoh Bu-tong-pai itu mencabut senjata masing-masing. Tampaklah berkilaunya senjata tajam itu meluncur ke depan ketika tiga belas orang itu mengerahkan ginkang mereka dan menggunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran ke depan, ke arah jejak berlubang itu. Tak lama kemudian terdengarlah oleh mereka bunyi nyanyian kakek pengemis tadi. Tiga belas orang ini memperlambat larinya dan satu-satunya wanita di antara mereka mengomel lirih, "Hemm, dasar manusia iblis. Selama hidupnya mengejar kesenangan dan demi kesenangan dia tidak segan melakukan hal-hal terkutuk yang kejamnya melebihi iblis sendiri!” "Sssssttt, Sumoi. Terhadap orang seperti dia kita harus berhati-hati. Semenjak dahulu, Bu-tong-pai tidak pernah bermusuhan dengan tokoh kang-ouw yang mana pun juga, tidak pula mencampuri urusan mereka. Maka biarlah nanti kita tanya dia secara baik-baik dan kalau tidak terpaksa sekali lebih baik kita menghindarkan pertempuran." kata twa-suheng kakak seperguruan tertua mereka. Semua sute-nya mengangguk, akan tetapi sumoi-nya mengomel, "Siapakah yang takut kepadanya?" Dia melintangkan pedangnya. Memang nona yang bernama The Kwat Lin ini terkenal berhati keras dan pemberani. Ilmu pedangnya memang hebat, maka tidaklah mengherankan apabila dia terhitung seorang di antara Cap-sha Sin-hiap yang terkenal di dunia kang-ouw. "Sumoi, kita harus mentaati perintah Suhu agar tidak membawa Bu-tong-pai menanam bibit permusuhan dengan golongan lain, baik kaum bersih mau pun kaum sesat. Karena itu, dalam pertemuan ini serahkan saja kepadaku untuk mewakili kalian semua!" Karena maklum bahwa dia tidak boleh melanggar perintah gurunya dan bahwa twa-suheng ini selain paling lihai juga merupakan seorang yang mewakili Suhu mereka, Kwat Lin mengangguk biar pun bibirnya yang merah tetap cemberut tidak puas. Dia merasa tidak puas melihat sikap jeri yang diperlihatkan para suheng-nya. Cap-sha Sin-hiap mempunyai nama besar di dunia kang-ouw, disegani kawan ditakuti lawan, masa sekarang berhadapan dengan seorang tokoh sesat saja kelihatan gentar? Suara nyanyian itu makin keras, tanda bahwa jarak di antara mereka dengan kakek itu makin dekat. Dengan ilmu meringankan tubuh yang hampir sempurna, tiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu dapat menyusul dan berkelebatlah tubuh mereka, dari kanan-kiri dan atas, tahu-tahu mereka telah berdiri menghadap di depan kakek pengemis dengan sikap keren dan gagah sekali. Kakek pengemis itu masih melanjutkan nyanyiannya sambil berdiri memandang, dan ketika pandang matanya bertemu dengan wajah Kwat Lin, dia tidak meyembunyikan kekagumannya. Setelah nyanyiannya berhenti, barulah dia tersenyum dan berkata, "Eh-eh, apakah kalian ini serombongan pemain akrobat yang hendak menjual kepandaian? Aku seorang pengemis tidak mempunyai uang untuk membayar upah kalian!" "Harap Locianpwe tidak berpura-pura lagi. Kami tahu bahwa Locianpwe adalah Pat-jiu-kai-pangcu Ketua Perkumpulan Pengemis Delapan Lengan yang terhormat. Locianpwe adalah tokoh terkenal yang berjuluk Pat-jiu Kai-ong, bukan?" Kakek yang mukanya kelihatan sabar dan baik hati itu tersenyum, senyumnya juga simpatik dan ramah. Tiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu yang hanya baru mengenal nama kakek sakti kaum sesat ini, diam-diam merasa heran bahkan sangsi apakah benar mereka berhadapan dengan Pat-jiu Kai-ong yang kabarnya kejamnya seperti iblis, karena kakek ini kelihatan halus tutur sapanya dan begitu ramah! "Ha-ha-ha! Sungguh sukar jaman sekarang ini untuk bersembunyi dan menyembunyikan diri. Orang-orang muda sekarang amat tajam penciumannya dan penglihatannya, Biar pun belum pernah jumpa sudah mengenal orang. Orang-orang muda yang gagah dan cantik,” dia memandang Kwat Lin lagi dengan kagum. "Tidak keliru dugaan kalian aku adalah Pat-jiu Kai-ong, seorang pengemis tua yang hanya memiliki sebatang tongkat butut ini. Tidak tahu siapakah kalian dan perlu apa kalian menghadang perjalananku?" "Kami adalah Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai!" kata Kwat Lin, dan karena sudah terlanjur maka percuma saja twa-suheng-nya mencegahnya dengan pandang matanya. "Benar, kami adalah murid-murid Bu-tong-pai, Locianpwe," kata twa-suheng itu dengan hati tidak enak. Sumoi-nya yang lancang itu ternyata telah membuka kartu dan mengaku bahwa mereka dari Bu-tongpai, berarti membawa-bawa nama perkumpulan mereka. "Ha-ha-ha, bagus. Memang Bu-tong-pai mempunyai banyak murid pandai, gagah dan cantik sepanjang kabar yang kudengar. Akan tetapi kalau tidak salah, aku tidak pernah berurusan dengan Bu-tong-pai." Melihat sikap kakek itu masih ramah dan kata-katanya juga halus dan tidak bermusuh, twa-suheng itu menjadi makin tidak enak. Akan tetapi dia maklum orang macam apa adanya kakek di depannya ini. Mereka datang ke sini demi Sin-tong yang mereka dengar merupakan seorang anak ajaib yang luar biasa dan sudah menolong manusia dengan pengetahuan yang tepat mengenai khasiat tetumbuhan yang mengandung obat. Maka tetap saja dia merasa khawatir akan keselamatan Sin-tong itu kalau sampai kakek datuk sesat ini bertemu dengan anak itu. "Apa yang Locianpwe katakan memang benar. Di antara Locianpwe dengan Bu-tong-pai, tidak pernah ada urusan. Dan sekali ini, kami orang-orang muda dari Bu-tong-pai juga tidak berniat untuk menganggu Locianpwe yang terhormat. Hanya kami mendengar berita bahwa di antara banyak tokoh kang-ouw, Locianpwe juga berminat kepada anak kecil budiman yang terkenal dengan sebutan Sin-tong dan yang berdiam di dalam Hutan Seribu Bunga. Benarkah ini, dan apakah Locianpwe sekarang sedang menuju ke hutan itu?" Mulai berubah wajah kakek itu mendengar ucapan ini. Senyumnya masih ada, akan tetapi sepasang matanya yang tadinya berseri gembira itu kehilangan cahaya kegembiraannya, dan berubah dengan sinar kilat yang mengejutkan mereka semua. "Hemmm, orang-orang muda yang lancang. Kalau benar aku hendak pergi mengunjungi Sin-tong, kalian mau apakah?" Tiga belas orang anak murid Bu-tong-pai itu sudah dapat mencium’ keadaan yang membuat mereka semua siap siaga. Mereka melihat bahwa kakek yang kelihatannya halus budi dan ramah ini mulai memperlihatkan tanduknya’ atau watak sesungguhnya. "Locianpwe, kalau benar demikian, kami hanya mohon kepada Locianpwe agar tidak mengganggu Sin-tong." "Apamukah bocah itu?" "Bukan apa-apa, Locianpwe. Namun mendengar betapa anak ajaib itu telah banyak menolong orang tanpa pandang bulu tanpa pamrih, maka sudahlah menjadi kewajiban semua orang gagah di dunia kang-ouw untuk menjaga keselamatannya." Terjadi perubahan hebat pada diri kakek itu. Kini senyumnya bahkan lenyap dan mulutnya menyeringai penuh sikap mengejek, matanya berkilat-kilat dan suaranya berubah kaku, ketus dan memandang rendah. "Anak-anak kurang ajar! Apakah Si tua bangka Kui Bhok Sianjin yang mengutus kalian?" "Guru kami tidak tahu-menahu tentang ini. Kami kebetulan berada di daerah ini dan mendengar akan Sin-tong yang terancam bahaya, maka kami melihat Locianpwe lalu sengaja hendak bertanya. Tentu saja kalau Locianpwe tidak menghendaki Sin-tong, kami pun sama sekali tidak kurang ajar dan kami mohon maaf sebanyaknya." "Aku memang menuju ke Hutan Seribu Bunga. Mengapa kalian menyangka bahwa aku akan mencelakai Sin-tong?" Tiga belas pendekar Bu-tong-pai itu makin tegang. Kakek ini sudah mulai berterus terang, maka tiada salahnya kalau mereka bersikap waspada dan berterus terang pula. "Siapa yang tidak mendengar bahwa Pat-jiu Kai-ong sedang menyempurnakan ilmu iblis yang disebut Hiat-ciang-hoat-sut Ilmu Hitam Tangan Darah?" tiba-tiba Kwat Lin berseru sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek itu. Para suheng-nya terkejut, akan tetapi ucapan telah terlanjur dikeluarkan dan memang dalam hati mereka terkandung tuduhan ini. Ilmu Hiat-ciang-hoat-sut adalah semacam ilmu hitam yang hanya dapat dipelajari oleh kaum sesat karena ilmu ini membutuhkan syarat yang amat keji, yaitu menghimpun kekuatan hitam dengan jalan menghisap dan minum darah, otak dan sumsum anak-anak yang masih bersih darahnya! Tentu saja bagi seorang yang sedang menyempurnakan ilmu iblis ini, Sin-tong mempunyai daya tarik yang luar biasa, karena darah, otak dan sumsum seorang bocah seperti Sin-tong yang ajaib, lebih berharga dari darah, otak dan sumsum puluhan orang bocah biasa lainnya! Tiba-tiba kakek itu tertawa lebar. “Ha-ha-ha, memang benar! Dan satu-satunya bocah yang akan menyempurnakan ilmuku itu adalah Sin-tong! Dan aku bukan hanya suka minum dan menghisap darah, otak dan sumsum bocah yang bersih, juga aku bukannya tidak suka bersenang-senang dengan perawan cantik seperti engkau, Nona!" "Sringgg! Sringgg...!" Tampak sinar-sinar berkilauan ketika pedang yang tiga belas buah banyaknya itu bergerak secara berbarengan dan tiga belas orang pendekar itu telah mengurung si Kakek yang masih tertawa-tawa. "Heh-heh, kalian mau coba-coba main-main dengan Pat-jiu Kai-ong? Sayang kalian masih muda-muda harus mati, kecuali nona manis ini. Andaikata Si tua bangka Kui Bhok Sianjin berada di sini sekali pun, dia juga tentu akan mampus kalau berani menentang Pat-jiu Kai-ong!" "Serbu dan basmi iblis ini!" Twa-suheng itu berteriak dan mereka sudah menerjang maju dengan bermacam gerakan yang cepat dan dahsyat. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara pekik yang dahsyat, pekik yang disusul dengan suara tertawa menyeramkan. Suara ketawa ini bergema di seluruh hutan, sehingga terdengar suara ketawa menjawabnya dari semua penjuru, seolah-olah semua setan dan iblis penjaga hutan telah datang oleh panggilan kakek itu. Hebatnya, suara pekik dan tertawa itu membuat tiga belas orang pendekar itu seketika seperti berubah menjadi arca. Gerakan mereka tiba-tiba terhenti dan untuk beberapa detik mereka hanya bengong memandang kakek itu dengan jantung seolah-olah berhenti berdenyut. Twa-suheng mereka yang bermuka gagah perkasa itu segera berseru, "Awas, Sai-cu-ho-kang ilmu menggereng seperti singa berdasarkan khikang!" Seruan ini menyadarkan para sute-nya dan sumoi-nya. Cepat mereka mengerahkan sinkang sehingga pengaruh Sai-cu-ho-kang itu membuyar, dan pedang mereka pun melanjutkan gerakannya. "Sing-sing... siuuut... trang-trang-trang...!” Gulungan sinar pedang-pedang menyambar ke arah tubuh kakek dari berbagai jurusan, namun dapat ditangkis oleh gulungan sinar tongkat hitam yang telah diputar dengan cepatnya oleh Pat-jiu kai-ong. Para pendekar Bu-tong-pai itu terkejut ketika merasakan betapa telapak tangan mereka menjadi panas dan nyeri setiap kali pedang mereka tertangkis tongkat. Hal ini menandakan bahwa si kakek benar-benar amat lihai dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Juga tongkatnya yang kelihatan butut dan hitam itu ternyata terbuat dari logam pilihan sehingga mampu menahan ketajaman pedang di tangan mereka, padahal semua pedang di tangan Cap-sha Sin-hiap adalah pedang-pedang pusaka yang ampuh. "Ha-ha-ha, inikah Ngo-heng-kiam Ilmu Pedang Lima Unsur dari Bu-tong-pai yang terkenal? Haha, tidak seberapa!" Sambil menggerakkan tongkatnya menangkis setiap sinar pedang yang meluncur datang, kakek itu tertawa dan mengejek. "Bentuk Sin-kiam-tin Barisan Pedang Sakti!" teriak si twa-suheng melihat betapa kakek itu benar-benar amat tangguh sehingga semua serangan pedang mereka dapat ditangkis dengan mudahnya. Tiba-tiba tiga belas orang pendekar itu merubah gerakan mereka. Kini mereka tidak lagi menyerang dari kedudukan tertentu, melainkan mereka bergerak mengurung dan mengelilingi kakek itu. Sambil bergerak berkeliling mereka menyusun serangan berantai yang susul-menyusul dan yang datangnya dari arah yang tidak tertentu. Diam-diam kakek itu terkejut, sejenak dia menjadi bingung. Kalau tadi mereka itu menyerangnya dari kedudukan tertentu, biar pun gerakan mereka tadi berdasarkan Ngo-heng-kiam, namun dia sudah dapat mengenali dasar Ngo-heng-kiam dan dapat menggerakkan tongkat secara otomatis untuk menangkis semua pedang yang datang menyambar. Akan tetapi sekarang sukar sekali menentukan dari mana serangan akan datang, dan gerakan mengelilinginya itu benar-benar mendatangkan rasa pusing. Marahlah Pat-jiu Kai-ong. Tadi dia ingin mempelajari ilmu pedang Bu-tong-pai dan memperhatikan para pengeroyoknya sebelum membunuh mereka. Akan tetapi setelah mereka menggunakan Sin-kiam-tin dia tahu bahwa kalau dia tidak cepat mendahului mereka, maka dia sendiri bisa terancam bahaya. Tidak disangkanya bahwa Si tua bangka Kui Bhok Sianjin, ketua dari Bu-tong-pai dapat menciptakan barisan pedang yang demikian lihainya. Tiba-tiba terjadi perubahan pada diri kakek ini. Tangan kirinya berubah menjadi merah sekali, merah darah! "Hati-hati terhadap Hiat-ciang Hoat-sut!" si twa-suheng berseru keras ketika melihat perubahan warna tangan kiri kakek itu. Pat-jiu Kai-ong tiba-tiba mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, lebih dahsyat daripada tadi. Tubuhnya mendadak membalik, tongkatnya menyambar dibarengi tangan kiri merah itu mendorong ke depan. "Prak-prak...! Desss!" Tiga orang pengeroyok menjerit dan roboh, dua orang dengan kepala pecah oleh tongkat, sedangkan seorang lagi terkena pukulan jarak jauh Hiat-ciang Hoat-sut, roboh dan tewas seketika dengan dadanya tampak ada bekas lima jari merah seperti terbakar, bahkan bajunya robek dan hangus. Itulah Hiat-ciang Hoat-sut, pukulan maut yang mengerikan. Padahal ilmu itu masih belum sempurna, dapat dibayangkan betapa hebatnya kalau kakek ini berhasil menghisap darah, otak dan sumsum seorang bocah ajaib seperti Sin-tong! Sepuluh orang pendekar Bu-tong-pai yang tersisa terkejut dan marah sekali. Mereka melanjutkan serangan dengan penuh semangat dan penuh dendam. Namun kembali Pat-jiu Kai-ong memekik dahsyat sambil bergerak menyerang, dan kembali tiga orang lawan roboh dan tewas. Serangan ini diulanginya terus, tidak memberi kesempatan kepada para pengeroyoknya untuk membebaskan diri. Empat kali terdengar dia memekik dahsyat seperti itu dan akibatnya, dua belas orang diantara Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai itu tewas semua, tewas dalam keadaan masih menggurungnya dan yang masih hidup tinggal The Kwat Lin seorang! Hal ini memang disengaja oleh Pat-jiu Kai-ong, dan kini sambil tersenyum mengejek dia menghadapi Kwat Lin. Dapat dibayangkan betapa perasaan dara itu melihat dua belas orang suheng-nya telah tewas semua! Dua belas orang suheng-nya yang selama ini berjuang sehidup-semati dengannya, kini telah menjadi mayat yang bergelimpangan di sekelilingnya, seolah-olah mayat dua belas orang itu mengurung dia dan Pat-jiu Kai-ong yang berdiri tersenyum di depannya. "Iblis busuk, aku akan mengadu nyawa denganmu!" Kwat Lin berseru mengandung isak tertahan. "Haiiiit.....!" tubuhnya melayang ke depan, pedangnya ditusukkan ke arah dada lawan dengan kebencian meluap-luap. Namun dengan gerakan seenaknya kakek itu memukulkan tongkatnya dari samping menghantam pedang yang menusuknya. "Krekkk!" pedang itu patah dan gagangnya terlepas dari pegangan Kwat Lin! Dara itu membelalakkan matanya dan melihat pandang mata kakek itu kepadanya. Melihat senyum yang baginya amat mengerikan itu, tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya dan melayang ke arah sebatang pohon besar. Kwat Lin berniat untuk membenturkan kepalanya hingga pecah pada batang pohon itu! Gadis ini melihat ancaman bahaya yang lebih mengerikan daripada maut sendiri, maka setelah yakin bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan lawannya, dia mengambil keputusan nekat untuk membunuh diri dengan membenturkan kepalanya pada batang pohon. "Bukkk!" bukan batang pohon yang dibentur kepalanya, melainkan perut lunak dan tubuhnya tahu-tahu sudah berada dalam pelukan Pat-jiu Kai-ong yang entah kapan telah berada di situ menghadangnya di depan pohon! "Lepaskan aku!" Kwat Lin berteriak, dan tiba-tiba tubuhnya dilontarkan oleh kakek itu hingga jatuh kembali ke dalam lingkaran mayat-mayat suheng-nya. Dengan langkah gontai kakek itu tersenyum-senyum memasuki lingkaran dan melangkahi mayat bekas para penggeroyoknya, menghampiri Kwat Lin yang sudah bangkit duduk dengan muka pucat dan mata terbelalak. Kwat Lin telah tersudut seperti seekor kelinci muda ketakutan menghadapi seekor harimau yang siap menerkamnya. Perasaan ngeri yang luar biasa membuat Kwat Lin cepat menggerakkan tangan kanannya, dengan dua buah jari tangan dia menusuk ke arah ubun-ubun kepalanya sendiri sambil mengerahkan sinkang. Batu karang saja akan berlubang terkena tusukan jari tangannya seperti itu, apa lagi ubun-ubun kepalanya. "Plakkk!" "Aihhh...!" Kwat Lin menjerit ketika tangannya itu tertangkis dan setengah lumpuh. Ternyata kakek itu telah berdiri di depannya dan telah mencegah dia membunuh diri! "Brettt... brettt...!" tongkat kakek itu bergerak beberapa kali, dan seperti disulap saja seluruh pakaian yang membungkus tubuh Kwat Lin cabik-cabik dan cerai-berai, membuatnya menjadi telanjang bulat sama sekali! Kwat Lin menjerit, akan tetapi tiba-tiba seperti seekor kucing menerkam tikus, sambil mengeluarkan suara ketawa menyeramkan, kakek itu telah menubruk dan memeluknya sehingga mereka berdua bergulingan di atas rumput yang bernoda darah para korban keganasan kakek itu! Kwat Lin melawan sekuat tenaga, namun sia-sia belaka. Untuk membunuh diri tidak ada jalan baginya, untuk melawan pun percuma, bahkan semua jeritan tangis dan permohonan, serta semua usahanya meronta-ronta tiada gunanya sama sekali. Semua usaha ini malah menyenangkan hati si kakek. Seolah-olah seekor kucing yang menjadi gembira dapat mempermainkan seekor tikus yang telah tersudut dan tidak berdaya, mempermainkannya dan melihatnya tersiksa dan meronta sebelum menjadi mangsanya! Selama tiga hari tiga malam Kwat Lin menderita siksaan yang amat hebat. Dia diperkosa, dihina, dan diejek. Pagi-pagi sekali pada hari ketiga, Kwat Lin sudah dalam keadaan lebih banyak mati daripada hidup, dalam keadaan setengah sadar, rebah terlentang tak mampu bergerak, hanya matanya saja yang mendelik memandang kakek itu. Kwat Lin melihat kakek itu mengenakan pakaian, menyambar tongkatnya dan tertawa memandang kepadanya yang masih rebah terlentang dalam keadaan telanjang bulat di atas rumput berdarah. "Ha-ha-ha! Sekarang aku pergi, manis. Aku telah puas, dan kalau kau mau membunuh diri, silakan. Ha-ha-ha!" Biar pun Kwat Lin berada dalam keadaan menderita hebat, kehabisan tenaga, hampir mati karena lelah, muak, jijik, malu, marah dan dendam tercampur aduk menjadi satu dalam benaknya, namun kebencian yang meluap-luap masih memberinya tenaga untuk berseru, "Jahanam, sekarang aku harus hidup! Aku harus hidup untuk melihat engkau mampus di tanganku!" "Ha-ha-ha! Manis, kalau sewaktu-waktu kau merasa rindu kepadaku, datang saja ke Hong-san, sampai jumpa!" Kakek itu lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu, meninggalkan Kwat-Lin yang masih rebah. Kini wanita yang bernasib malang ini menangis sesenggukan di antara mayat-mayat dua belas suheng-nya yang sudah mulai membusuk dan berbau! Dapat dibayangkan betapa tersiksa rasa badan wanita muda ini. Dia dipaksa, diperkosa, dihina di antara mayat-mayat dua belas suheng-nya. Bahkan sewaktu keadaan mayat-mayat itu mulai membusuk dan menyiarkan bau yang hampir tak tertahankan, kakek itu masih saja enak-enak mempermainkannya. Benar-benar seorang manusia yang kejam melebihi iblis sendiri. Tiba-tiba Kwat Lin bangkit serentak, seolah-olah ada tenaga baru memasuki tubuhnya yang menderita nyeri, lelah dan kelaparan karena selama tiga hari tiga malam dia dipermainkan tanpa diberi makan atau minum oleh kakek iblis itu. Dia berdiri tegak, telanjang bulat, lalu memandang ke arah semua mayat suheng-nya. Matanya menjadi liar, keluar suara parau dari mulutnya yang pecah-pecah bibirnya oleh gigitan kakek iblis. "Suheng sekalian, dengarlah! Aku The Kwat Lin, bersumpah untuk membalaskan kematian suheng sekalian. Satu-satunya tujuan hidupku sekarang hanyalah untuk membalas dendam dan membunuh iblis busuk Pat-jiu Kai-ong!" Tiba-tiba dia terhuyung mundur memandang wajah twa-suheng-nya. Pria inilah sebetulnya yang sudah sejak dahulu mencuri hatinya. "Twa-suheng...!" Dia menubruk dan berlutut di dekat mayat yang sudah mulai membusuk itu. "Jangan berduka, Twa-suheng.... Jangan menangis...." Dia berdiri sesunggukan. "Apa...? Aku telanjang...? Pakaianmu...?" Seperti orang gila yang bicara dengan sesosok mayat, Kwat Lin bertanya, kemudian dia membuka baju dan celana luar dari mayat yang sudah kaku kejang itu dengan agak susah, lalu mengenakan pada tubuhnya sendiri. Tentu saja agak kebesaran. "Hi-hi-hik, pakaianmu kebesaran, Suheng...." Dia memandang wajah mayat twa-suhengnya dan tertawa lagi. "Hi-hik. Nah, begitu, tertawalah Twa-suheng, tertawalah para suheng sekalian..., tertawa dan bergembiralah karena dendam kalian pasti akan kubalaskan! Hi-hi-hik... hu-hu-huuuhhh..." Dia menangis lagi terisak-isak dan dengan terhuyung-huyung dia meninggalkan tempat mengerikan itu setelah mengambil pedang twa-suheng-nya. Pedang itu adalah pedang pusaka terbaik di antara pedang ketiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu, sebatang pedang pemberian ketua Bu-tong pai sendiri. Pedang yang di dekat gagangnya ada gambar setangkai bunga bwee merah, maka pedang itu diberi nama Ang-bwee-kiam Pedang Bunga Bwee Merah. Dia terhuyung-huyung, pergi tak tentu tujuan, asal menggerakkan kedua kaki melangkah saja. Langkahnya kecil-kecil dan terhuyung-huyung karena tubuhnya masih terasa lelah, lapar dan sakit semua. Kadang-kadang terdengar dia terisak menangis, kemudian terkekeh geli. Kalau ada orang yang bertemu dengan wanita yang bibirnya pecah-pecah, mukanya penuh debu dan air mata, matanya membengkak dan merah, rambutnya riap-riapan dan pakaiannya terlalu besar ini, tentu orang itu akan merasa seram, mengira bahwa setidaknya dia adalah seorang wanita gila. Dugaan ini memang tidak meleset terlalu jauh. Penderitaan lahir batin yang melanda diri Kwat Lin membuat wanita malang ini tidak kuat menahan sehingga terjadi perubahan pada ingatannya. Pada hari yang sama ketika Cap-sha Sin-hiap roboh di tangan kakek iblis Pat-jiu Kai-ong di kaki pegunungan Jeng-hoa-san, terjadi pula peristiwa hebat di bagian lain dari pegunungan itu. Kalau Cap-sha Sin-hiap roboh di daerah timur pegunungan, maka di daerah barat terjadi pula peristiwa yang hampir sama sungguh pun sifatnya berbeda. Pada pagi hari itu, seorang wanita berjalan seorang diri mendaki lereng pertama dari pegunungan Jeng-hoa-san sebelah barat. Wanita itu memasuki hutan dengan wajah berseri. Harus diakui bahwa wajah wanita cantik ini manis sekali, mempunyai daya tarik yang kuat sungguh pun usianya sudah empat puluh tahun. Tidak ada keriput mengganggu kulit mukanya yang putih halus. Mulutnya yang agak lebar itu mempunyai bibir yang senantiasa menantang dan seolah-olah buah masak yang sudah pecah. Akan tetapi kalau orang memperhatikan matanya, mata yang jernih dan bersinar tajam, maka hati yang kagum akan kecantikannya tentu akan berubah menjadi ragu-ragu, curiga dan ngeri karena sepasang mata itu tidak pernah, atau jarang sekali berkedip. Mata itu terbuka terus seperti mata boneka! Dengan langkah-langkah gontai dan lemas, membuat buah pinggulnya menonjol dan bergoyang ke kanan-kiri, wanita itu berjalan seorang diri, memutar-mutar sebuah payung yang dipanggulnya. Sebuah payung hitam yang tertutup, gagangnya melengkung dan ujungnya meruncing. Pakaiannya serba mewah dan indah, rambutnya panjang sekali, digelung ke atas seperti sebuah menara hitam yang indah, terhias tusuk sanggul dari mutiara dan emas. Yang menarik adalah kuku-kuku jari tangannya. Kuku yang panjang terpelihara, diberi warna merah, panjang meruncing dan agak melengkung seperti kuku kucing atau harimau. Pakaiannya yang mewah itu dibuat terlalu pas dengan tubuhnya sehingga membungkus ketat tubuh itu, membayangkan lekuk lengkung yang menggairahkan dari dada sampai ke kaki karena celananya yang terbuat dari sutera merah muda itu pun ketat sekali! Biar pun kelihatannya seperti seorang wanita cantik dan genit tante girang, namun sesungguhnya dia bukanlah manusia biasa! Dia inilah yang terkenal sekali di dunia hitam kaum penjahat, karena wanita ini bukan lain adalah Kiam-mo Cai-li Wanita Pandai Berpayung Pedang, sebuah julukan yang membuat bulu tengkuk orang yang sudah mengenalnya berdiri saking ngerinya karena wanita yang sebenarnya hanya bernama Liok Si ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi mengerikan dan kekejaman yang sukar dicari bandingnya! Bahkan ia disamakan dengan wanita cantik penjelmaan siluman rase yang biasa mengganggu pria. Setiap pria yang terjebak dalam pelukannya tentu akan mati kehabisan darah, disedot habis oleh siluman ini! Tentu saja bagi mereka yang belum pernah berjumpa dengannya, sama sekali tidak akan mengira bahwa wanita yang berlenggak-lenggok dengan payung di pundak itulah iblis wanita yang menggeggerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang luar biasa. Mudah saja diduga mengapa pada hari itu Kiam-mo Cai-li ini mendaki lereng Jeng-hoa-san! Tentu saja dia pun mendengar berita menggegerkan dunia kang-ouw akan adanya Sin-tong, Si Bocah ajaib. Mendengar cerita ini, kontan hatinya berdebar-debar keras penuh ketegangan dan penuh birahi! Dia dapat membayangkan betapa tenaga mukjijat yang dihimpunnya secara ilmu hitam dengan jalan menghisap sari tenaga ratusan orang pria, akan meningkat dengan hebat sekali kalau dia bisa menghisap kejantanan si Bocah Ajaib itu! Maka begitu mendengar akan bocah ajaib di puncak pegunungan Jeng-hoa-san di dalam Hutan Seribu Bunga, dia segera menempuh perjalanan jauh mengunjungi pegunungan itu. Perjalanan yang jauh karena biar pun sering kali Liok Si ini pergi merantau namun dia memiliki sebuah pondok kecil seperti istana mewah yang terletak di tempat yang tidak lumrah dikunjungi manusia, yaitu di daerah Rawa Bangkai. Rawa-rawa yang liar ini terdapat di kaki pegunungan Luliang-san, merupakan daerah maut karena banyak lumpur dan pasir yang berputar, hingga merupakan perangkap maut bagi manusia dan hewan. Namun di tengah-tengah rawa-rawa yang tidak dapat dikunjungi oleh manusia lain itu terdapat sebuah tanah datar, tanah keras semacam pulau. Di atas pulau inilah letaknya istana kecil milik Liok Si yang berjuluk Kiam-mo Cai-li, di mana ia tinggal bersama belasan orang pembantu-pembantu yang sudah menjadi orang-orang kepercayaannya. Dia disebut Cai-li Wanita Pandai karena sebetulnya wanita ini dulunya adalah puteri seorang sasterawan kenamaan. Sejak kecil Liok Si telah mempelajari kesusasteraan sehingga dia mahir sekali akan sastra, bahkan dia pernah menyamar sebagai pria menempuh ujian pemerintah sehingga dia lulus dan mendapat gelar siucai! Akan tetapi penyamarannya ketahuan, dan seorang pembesar tinggi istana yang kagum padanya lalu mengambilnya sebagai seorang selir. Selain ilmu sastra, semenjak kecil Liok Si juga digembleng ilmu silat oleh para sahabat ayahnya. Apalagi setelah menjadi selir pembesar tinggi di istana, dia mengadakan hubungan dengan kepala-kepala pengawal, dengan pengawal-pengawal kaisar yang berilmu tinggi, menyerahkan tubuhnya sebagai pengganti ilmu silat-ilmu silat tinggi yang diperolehnya sebagai bayaran. Akhirnya pembesar itu mengetahui akan tabiat selirnya ini yang ternyata adalah seorang wanita yang gila pria, maka dia diusir dari istana pembesar itu. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh wanita ini? Dia membunuh Si Pembesar, membawa banyak harta benda yang dicurinya dari istana itu, kemudian minggat! Belasan tahun kemudian, muncullah nama julukan Kiam-mo Cai-li, namun tidak ada yang menduga bahwa dia adalah Liok Si yang dahulu menjadi selir bangsawan dan yang membunuh bangsawan itu sehingga menjadi orang buruan pemerintah. Liok Si berjalan sambil tersenyum-senyum. Kadang-kadang senyumnya melebar dan tampak giginya yang putih mengkilat dan di kedua ujungnya terdapat sebuah gigi yang agak meruncing sehingga sekelebatan mirip gigi caling sihung. Hatinya gembira sekali kalau dia membayangkan betapa akan sedapnya kalau dia dapat memperoleh bocah ajaib itu. "Hemmm, aku harus bersikap halus dan hati-hati terhadapnya, menikmatinya selama mungkin. Hemmm...," pikirnya sambil tersenyum. Tiba-tiba dia terkejut dan menghentikan langkahnya, akan tetapi kembali dia tersenyum manis. Matanya mengerling tajam penuh kegairahan ketika melihat lima orang laki-laki berdiri di depannya dengan sikap gagah. Pandang matanya menyambar-nyambar dan terbayang kepuasan serta kekaguman. Memang, hati seorang wanita gila pria seperti Liok Si tentu saja menjadi berdebar tegang ketika melihat lima orang pria yang usianya rata-rata tiga puluh tahun lebih bertubuh tegap-tegap dan rata-rata berwajah tampan dan gagah! Seperti melihat lima butir buah yang ranum dan matang hati! "Aih-aihh... Siapakah Ngo-wi Anda berlima yang gagah perkasa ini? Dan apakah Ngo-wi sengaja hendak bertemu dan bicara dengan aku?" Seorang di antara mereka, yang usianya tiga puluh tahun, mukanya bulat dan alisnya seperti golok hitam dan tebal, berkata, "Apakah kami berhadapan dengan Kiam-mo Cai-li dari Rawa Bangkai?" Wanita itu memainkan bola matanya memandangi wajah mereka berganti-ganti dengan berseri, mulutnya tersenyum ketika menjawab, "Kalau benar mengapa? Kalian ini siapakah?" "Kami adalah Kee-san Ngo-hohan Lima Pendekar dari Gunung Ayam." "Tsk tsk tsk...," Kiam-mo Cai-li mengeluarkan bunyi dengan lidahnya tanda kagum. Segera dia menjura dan berkata manis, "Aih, kiranya lima pendekar yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai murid-murid utama Hoa-san-pai! Aih, terimalah hormatnya seorang wanita bodoh seperti aku." "Harap Toanio Nyonya tidak mengejek dan bersikap merendah. Kami sudah tahu siapa adanya Kiam-mo Cai-li, dan karena melihat engkau mendaki Jeng-hoa-san, maka terpaksa kami memberanikan diri untuk menghadang." "Ehm...! Maksud kalian?" Senyumnya makin manis dan kerling matanya makin memikat. "Kami telah mendengar akan berita bahwa tokoh-tokoh kang-ouw sedang berusaha untuk memperebutkan Sin-tong yang berada di Hutan Seribu Bunga. Kami mendengar pula bahwa Kiam-mo Cai-li merupakan seorang di antara mereka yang hendak menculik Sin-tong. Karena kami telah berhutang budi, diberi obat oleh Sin-tong, maka kami hanya dapat membalas budinya dengan melindunginya terutama dari tangan... maaf, para tokoh kaum sesat yang tentu tidak mempunyai itikad baik terhadap dirinya. Andaikata kami tidak berhutang budi sekali pun, mengingat bahwa Sin-tong adalah seorang anak ajaib yang telah banyak menolong orang tanpa pandang bulu, sudah menjadi kewajiban orang-orang gagah untuk melindunginya." Kembali Kiam-mo Cai-li tersenyum. "Terus terang saja, memang aku mendengar tentang Sin-tong dan aku ingin mendapatkannya, maka hari ini aku mendaki Jeng-hoa-san. Habis kalian mau apa?" "Kalau begitu, kami minta dengan hormat agar kau suka membatalkan niatmu itu, Toanio. Kalau kau memaksa hendak menganggu Sin-tong, terpaksa kami akan merintangimu dan tidak membolehkan kau melanjutkan perjalanan!" "Hi-hi-hik, galak amat! Lima orang laki-laki muda tampan dan gagah bertemu dengan seorang wanita cantik penuh gairah, sungguh tidak semestinya kalau bermain senjata mengadu nyawa!" Bersambung Ke JILID 02
loading... Kho Ping Hoo, Suling Emas LU SIAN masih berdiri bengong memandang kakek itu dan mengira bahwa sebentar lagi kakek itu tentu akan roboh dan tewas akibat hawa pukulannya. Akan tetapi anehnya, kakek itu masih tersenyum dan warna menghitam itu bahkan perlahan-lahan lenyap dari kulit muka dan lehernya. Bagaikan dalam mimpi Lu Sian jatuh terduduk dan mendengarkan nyanyian wejangan kakek itu yang serasa meremas-remas jantungnya. "Engkau bagaikan setangkai daun yang mengering layu urusan kematian telah mendekatimu. Engkau berdiri di ambang pintu kematian apakah persiapanmu untuk bekal diperjalanan! Buatlah pulau perlindungan bagimu, berjuanglah segera penuh bijaksana. Apabila engkau bersih dari noda dan bebas dari dosa engkau akan mencapi sorga, alam para Ariya! Berapa lama hidup ini? Tanpa terasa engkau sudah menghampiri Raja Kematian. Tiada akan ada tempat untuk istirahat di perjalanan dan engkau belum menyiapkan suatu perbekalan!" Suara itu merayu dan seperti menghimpit perasaan Lu Sian. Tidak kuat ia menahan lebih lama lagi, maka sambil berlutut di depan kakek itu ia berteriak. "Orang tua... aku mengaku kalah. Kau bunuhlah aku, tak perlu menyiksaku dengan kata-kata....!" Lu Sian lalu menangis tersedu-sedu. Nyanyian kakek itu seakan-akan mendengungkan semua teguran dan peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi dan karenanya membuat hatinya makin hancur. Teringatlah ia akan kesesatan hidupnya dan sadarlah ia betapa rindu ia akan kehidupan yang wajar dari manusia biasa dalam sebuah keluarga bahagia, selama ini. Suara yang-khim terhenti. Dengan gerakan tenang kakek itu menyandangkan alat musiknya di pundak lalu berkata, "Terasa tersiksa karena sadar akan dosa-dosanya adalah baik. Yang sudah lalu sudahlah, biarlah perbuatan jahat tidak diulangi lagi. Biasakan diri tidak menyenangi perbuatan jahat. Penderitaan dalam hidup adalah buah daripada perbuatan jahat yang menjadi pohon tanaman kita sendiri. Orang yang bersengsara, bukankah engkau yang disebut Tok-siauw-kwi? Tiada permusuhan di antara kita, mengapa kau datang-datang menyerangku dan kini minta kubunuh?" Lu Sian mengangkat muka memandang, akan tetapi tidak kuat ia menentang pandang mata kakek itu lama-lama, maka ia menunduk lagi dan tetap berlutut, "Semua orang di dunia kang-ouw memusuhiku, mengapa kau tidak? Sudahlah, tak perlu bermain-main denganku, orang tua. Kau terlalu sakti bagiku, aku mengaku kalah. Lekas kauturunkan tangan maut menghabisi riwayatku, aku pun sudah bosan hidup!" Akan tetapi kakek itu tertawa perlahan. "Mengatasi kemarahan dengan kesabaran, mengatasi kebencian dengan kasih sayang, mengatasi kesombongan dengan kerendahan hati, mengatasi kebohongan dengan kebenaran, mengatasi kejahatan dengan kebajikan. Ah, Tok-siauw-kwi, penyesalan menyesak dadamu, itu tandanya kesadaran sudah mulai muncul. Tumpahkanlah penyesalanmu dalam pengakuan agar tidak menyesak dada dan menjadi lapang untuk kau bertobat." Kini Lu Sian memandang penuh perhatian kepada kakek itu dan naiklah sedu sedan di kerongkongannya ketika timbul dugaan hatinya. "Kau... kau... Bu Kek Siansu...?" Kakek itu tersenyum dan mengangguk. "Kau tahu bahwa aku bukan musuhmu, bukan musuh siapapun juga. Anak baik, bersediakah kau kembali ke jalan terang?" Suara ini demikian tenang dan penuh rasa kasih sayang, seakan-akan suara seorang ayah sendiri yang penuh perasaan iba, Lu Sian menjadi terharu lalu menubruk kaki orang tua itu dan menangis. Kemudian berceritalah Lu Sian, menceritakan semua pengalamannya yang membuat ia dimusuhi semua orang kang-ouw, semua perbuatannya dalam mengabdi kepada nafsu-nafsunya. Tanpa malu-malu dan secara terang-terangan ia bukakan semua isi hatinya kepada kakek ini. Ia bercerita tentang Kwee Seng, tentang Tan Hui, dan tentang partai-partai persilatan besar yang pernah ia datangi. Ia mengaku telah mencuri kitab-kitab di Siauw-lim-pai, di Go-bi-pai, mencuri pedang di Hoa-san-pai. Lu Sian bercerita penuh perasaan sesal sambil menangis dan pada akhir ceritanya ia muntah darah dan roboh pingsan di depan kaki Bu Kek Siansu yang mendengarkan penuh kesabaran dan pengertian. Kemudian Lu Sian merasa seakan-akan ia dituntun ke tempat terang, keluar dari tempat yang amat gelap. Dalam keadaan seperti mimpi ia merasa seperti terbang di antara awan yang menyelubunginya, dan terngianglah di telinganya suara Bu Kek Siansu yang tenang dan sabar. "Jauhi segala permusuhan. Jangan layani mereka yang memusuhimu. Bertobat berarti menghentikan semua perbuatan yang keliru. Kampung halaman merupakan tempat yang paling aman." Ketika Lu Sian sadar kembali, ia mendapatkan dirinya di tempat tadi, akan tetapi Bu Kek Siansu sudah tidak ada di situ. Hanya suara kakek itu masih terus bergema di telinganya. Teringat akan ayahnya, akan Beng-kauw dan kota raja Nan-cao, teringat ketika ia masih kecil ikut ayahnya merantau. Terbayanglah ia akan istana di bawah tanah yang menjadi tempat rahasia Beng-kauw. Tempat itukah yang disindirkan oleh Bu Kek Siansu dalam nasihatnya? Lu Sian bangkit berdiri, tubuhnya terasa lemah dan dengan terhuyung-huyung wanita yang selama bertahun-tahun ini menimbulkan banyak geger di dunia kang-ouw, kini pergi dengan hati perih dan pikiran hampa. *** Bu Song melakukan perjalanan cepat menuju ke kota raja Cou. Hari telah siang ketika ia tiba di wilayah kota raja, di luar pintu gerbang sebelah barat kota raja. Hari amat panas dan di sepanjang jalan raya menuju ke pintu gerbang sunyi. Tiba-toba di sebuah tikungan jalan yang membelok karena terhalang sebuah batu gunung besar, Bu Song melihat seorang kakek berjalan terhuyung-huyung di atas jalan yang panas berdebu. Kakek itu pakaiannya seperti seorang sastrawan akan tetapi pakaiannya sudah tua dan kusut, kumis dan jenggotnya jarang. Tangan kirinya memegang sebuah kitab kecil dan sambil berjalan terhuyung-huyung kakek itu bernyanyi. Bu Song mengenal kata-kata yang dinyanyikan itu sebagai sebuah sajak dari pujuangga Li Po."Meneguk secawan anggur merahdi antara bunga-bunga di taman indahtiada kawan, hanya bulanwahai bulan, mari minum temani akukita bertiga, aku, bayanganku, dan enkau!" Kakek itu terbatuk-batuk, berhrnti terhuyung memegangi dada, kemudian ia berdongak keatas sambil mengeluh, "Sayang suling emas tiada padaku..., kalau ada tentu akan kutiup lagu merdu...!" Tiba-tiba kakek itu terhuyung-huyung kedepan dan tentu jatuh kalau saja Bu Song tidak cepat melompat dan memeluk pundaknya "Orang tua, hati-hatilah. Kau bisa jatuh!" Kakek itu memandang Bu Song dengan sepasang mata mabok, lalu tertawa ha-hah-he-heh dan berkata, kepalanya bergoyang-goyang, "Heh-heh, jatuh ke bawah tidak apa! Celakah mereka yang jatuh ke atas!" Setelah berkata demikian, kakek itu jatuh benar-benar dan untung Bu Song cepat memegangnya sehingga kakek itu tidak terbanting, melainkan jatuh terduduk di tengah jalan. Pada saat itu terdengar banyak derap kaki kuda dan Bu Song yang menengok ke belakang melihat beberapa orang penunggang kuda yang berpakaian seragam mendatangi dengan cepat. "Hayo kita ke pinggir, Kek itu banyak kuda membalap datang!" "Huh, biarlah....... setiap hari puluhan ribu rakyat sudah diinjak-injak, di tambah aku seorang lagi apa artinya?" Bu Song tidak mau melayani bicara kakek ini yang agaknya sedang mabok keras maka ia lalu menarik tubuh kakek itu secara paksa, dibawanya ke pinggir jalan agar jangan berada di tengah jalandan terancam bahaya di terjang barisan kuda. Rombongan kuda itu terdiri dari tujuh orang dan yang paling depan adalah seorang komandan yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam. Melihat Bu Song dan kakek itu di pinggir jalan, Si Kakek tertawa-tawa dan telunjuknya menuding-nuding ke arahnya, komandan itu menjadi marah dan cambuknya meledak, menyambar kea rah muka Si kakek mabok. Bu Song cepat memasang dirinya di depan kakek yang terhantam cambuk, sehingga bukan muka Si kakek yangt terhantam cambu, melainkan punggung Bu Song. Hantaman itu keras sekali dan baju Bu Song di bagian punggung sampai robek. Akan tetapi pemuda itu tidak merasa terlalu sakit, apalagi terluka. Hanya terasa agak panas saja. Komandan itu tertawa dan rombongan berkuda lewat cepat meninggalkan debu mengepul tinggi. Kakek itu masih tertawa=tawa dan Bu Song merasa mendongkol juga. Ia melepaskan kakek itu rebah di atas tanah, lalu ia berkata, "Kakek kenapa kau begitu nekat? Kalau tidak Kutarik ke pinggir tentu mereka akan menubruk dan menginjak-injak tubuhmu dengan kaki kuda." "Ha-ha, apa salahnya? Paling-paling mati! Lebih celaka mereka itu yang menjadi anjing-anjing yang btidak dapat menguasai diri sendiri. Mereka itu anak buah yang sudah jatuh ke atas. Merekalah yang lebih celaka!" Bu Song tertarik. Cara kakek ini bicara seperti orang mabok, akan tetapi kata-katanya teratur dalam kalimat yang amat baik. Ia lalu duduk di depan kakek itu yanmg juga sudah bangun duduk. Mereka duduk berhadapan, saling pandang, dan kakek itu bertanya, "Kau ini seorang pemuda pelajar yang baik, hendak kemana?" Bu Song lalu member hormat dan berkata. "Nama saya Bu Song She... Liu dan saya bermaksud untuk mengikuti ujian di kota raja!" Kakek itu memandang bengong lalu menggeleng-geleng kepalanya sambil menarik napas panjang. "Mengikuti ujian? Apa engkau mempunyai bekal banyak emas dan perak murni?" "Untuk apa, Kek? Aku hanya membawa bekal alat tulis dan ilmu kesusastraan!" Kakek itu tertawa terbahak-bahak dari mulutnya bertiup baru arak. "Ha-ha, kau lebih mabok lagi. Ujian tanpa modal emas dan perak mana bisa berhasil? Semua pengurusnya adalah orang-orang yang sudah jatuh ke atas." "Kek, apa maksudmu dengan jatuh ke atas?" "Mereka itu orang-orang yang telah naik menempati kedudukan, akan tetapi makin tinggi kedudukan mereka, makin jahatlah sepak terjang mereka. Yang kuat mempergunakan kekuatannya untuk menindas yang lemah. Yang pintar mempergunakan kepintarannya untuk menipu yang bodoh. Yang bodoh dan lemah memang jatuh ke bawah akan tetapi yang kuat dan pintar itu bukankah berarti jatuh ke atas? Ada dua macam kejahatan, akan tetapi secelaka-celakanya jatuh ke bawah, lebih sialan lagi yang jatuh ke atas, ha-ha-ha!" Bu Song sejak kecil dijejali filsafat, maka ia dapat menangkap arti kata-kata sulit kakek itu. "Kek, jadi menurut keyakinanmu, tidak perlu kita menempuh ujian dan menduduki pangkat?" "Kalau kau ikut-ikut jatuh ke atas...." "Kau keliru sama sekali, Kek. Kalau semua orang terpelajar seperti engkau ini pendiriannya, hanya mengeluh dan menangis, menyanyikan sajak-sajak kosong, meratapi nasib rakyat dan memaki-maki kelaliman para pembesar, apakah akan jadinya? Keadaan takkan berubah baik, bahkan makin memburuk. Kita harus bergerak. Kita harus bekerja dan berusaha memberantas semua yang buruk, mempergunakan kekuasaan dan kebisaan kita masing-masing! Bahkan dengan kepandaian kita, kita harus dapat menempati kedudukan yang memungkinkan kita menggunakan kekuasaan kita merubah segala hal yang tidak patut. Kek, apakah artinya menghafal sepuluh ribu ujar-ujar baik tanpa melakukannya dalam hidup? Lebih baik mengetahui satu saja akan tetapi betul-betul dijalankan dalam hidup." Tiba-tiba kakek itu memandang dengan mata terbelalak. Maboknya seperti hilang seketika dan ia memegang pundak Bu Song sambil bertanya, "Kau... kau siapa...?" "Sudah kukatakan tadi, Kek, namaku Liu Bu Song." Pemuda ini tidak mau menggunakan she ayahnya, karena nama Kam Si Ek terlampau terkenal di kota raja, maka ia sengaja menggunakan she ibunya. "Kau... lain daripada yang lain. Kau masih muda, semangatmu besar. Kau... murid siapakah?" "Guruku yang terhormat, yang memberi bimbingan kepada saya sejak kecil adalah Kim-mo Taisu." "Ahhh...! Kiranya dia gurumu! Kalau begitu pantas saja kau bicara besar, kiranya kau seorang ahli silat pula yang dapat mengandalkan kepandaian kasar itu utuk mencari kedudukan!" "Harap kau orang tua jangan salah duga. Suhu hanya mengajarkan ilmu sastera kepadaku, sama sekali aku tidak pernah mempelajari ilmu silat. Aku benci ilmu itu yang hanya dipergunakan untuk saling bunuh." Sejenak kakek itu memandang penuh keheranan, kemudian ia merangkul pundak Bu Song. "Bagus! Kalau begitu kaulah orangnya yang patut mewarisi suling emas!" "Apa, Kek? Apa maksudmu?" "Orang muda, pernahkah kau mendengar nama sastrawan Ciu Bun?" Bu Song menggeleng kepala. "Kalau nama kakakku Ciu Bun yang amat terkenal saja kau tidak pernah dengar apalagi namaku. Aku adalah Ciu Gwan Liong, adiknya. Akan tetapi biarpun nama kami berdua kau tak pernah dengar, tentu kau sudah mendengar nama besar Bu Kek Siansu." Bu Song mengangguk. "Aku pernah mendengar Suhu menyebut-nyebut nama kakek sakti itu." "Tentu saja. Gurumu mana bisa menjadi begitu lihai kalau tidak bertemu dengan Bu Kek Siansu? Ketika itu di puncak Thai-san, secara kebetulan gurumu dan kami berdua menerima anugerah dari Bu Kek Siuansu. Gurumu menerima petunjuk ilmu silat, sedangkan kami orang-orang sastrawan yang lemah, menerima kitab sajak ini dan suling emas. Kitabnya diberikan kepadaku ini dan suling emasnya berada di tangan kakakku Ciu Bun. Akan tetapi terpaksa kami berdua pisah. Kerajaan jatuh bangun, para sastrawan tidak mendapat penghargaan sama sekali. Selain itu juga ternyata suling emas dan kitab ini tidak hanya berguna bagi para sastrawan menghibur diri dan menenangkan hati, malah dijadikan perebutan para tokoh kang-ouw! Kami dikejar-kejar terutama sekali kakakku sehingga terpaksa kakak Ciu bun melarikan diri dan bersembunyi di pulau kosong di Lam-hai. Kami berdua sudah bersepakat untuk mempertahankan kitab dan suling, dan telah bersepakat pula kelak memberikan kepada orang yang kami pandang tepat. Nah, pilihanku jatuh kepadamu, orang muda. Tidak salah lagi, apalagi engkau murid Kim-mo Taisu. Ah, Thian agaknya sengaja mengirim kau ke sini untuk membebaskan aku daripada tugas menyimpan kitab ini. Kausimpanlah kitab ini baik-baik, dan kelak, kaucarilah kakakku di Pek-coa-to di Lam-hai, kau perlihatkan kitab ini tentu suling emasnya akan diberikan kepadamu. Kau minta petunjuk dari padanya, kedua benda pusaka itu kelak amat berguna bagimu. Lekas simpanlah...!" Kakek itu memasukkan kitab kecil di tangan cepat-cepat ke dalam saku baju Bu Song sebelah dalam. "Lindungi kitab ini dengan taruhan nyawamu...!" Tergesa-gesa kakek itu memberi pesan ini dan tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Kiranya tujuh orang berkuda tadi sudah kembali lagi dan kini mereka meloncat turun dari atas kuda, lalu langsung menghampiri sastrawan tua Ciu Gwan Liong dan Bu Song. Sastrawan itu masih duduk bersila akan tetapi Bu Song sudah bangkit berdiri melihat tujuh orang itu datang dengan sikap mengancam. Si Komandan bermuka hitam lalu langsung menyerbu Ciu Gwan Liong dan menangkap leher bajunya, ditariknya ke atas dengan amat mudah sehingga tubuh kakek sastrawan itu tergantung. "Ah, kiranya kau tua bangka pengemis inilah sastrawan Ciu Gwan Liong! Hayo mengakulah, bukankah kau Ciu Gwan Liong?" "Aku benar she Ciu bernama Gwan Liong," jawab kakek itu dengan suara angkuh biarpun keadannya amat terhina seperti itu. "Kalian ini anjing-anjing peliharaan yang hanya mengandalkan sisa makanan pembesar negeri, mengapa bersikap begini kasar dan tidak sopan terhadap orang tak bersalah?" "Wah, mulut besar! Hayo ikut kami menghadap Taijin!" Si Muka Hitam lalu melemparkan tubuh kakek itu kepada anak buahnya yang menerima tubuh kakek itu sambil tertawa-tawa. Di lain saat tubuh kakek itu sudah direbahkan tertelungkup melintang di atas punggung kuda seperti segulung tikar. "Mana ada aturan begini?" Bu Song melangkah maju menegur Si Muka Hitam. "Dengan alasan apakah kalian menangkap orang secara sewenang-wenang?" "Hushh! Kau pemuda tolol jangan ikut campur! Tidak tahu bahwa kami adalah alat negara?" bentak Si Muka Hitam marah sekali. Bu Song sama sekali tidak takut, ia malah melangkah maju dan berkata dengan suara keras, "Justeru karena kalian alat negara seharusnya menggunakan peraturan dan hukum kesopanan! Bukankah negara itu diatur dengan hukum dan alat-alat negara adalah penegak hukum? Hanya perampok saja yang menindas dan menangkap orang tanpa kesalahan dan kalian sebagai alat negara seharusnya malah memberantas tindakan seperti itu. Hayo bebaskan kakek yang tidak bersalah itu, kalau tidak, aku akan melaporkan kalian kepada pembesar negeri di kota raja, tentu kalian akan dipecat dan dihukum!" Sesaat Si Muka Hitam tercengang sampai melongo. Benar-benar belum pernah selama hidupnya ia melihat orang berani berkata-kata seperti itu terhadapnya. Kemudian ia tertawa bergelak dan sekali kakinya bergerak perut Bu Song sudah tersambar tendangan keras yang membuat tubuh Bu Song terpelanting dan bergulingan. "Ha-ha-ha, kau boleh melapor, ha-ha! Justeru yang menyuruh tangkap sastrawan ini adalah pembesar negeri, tolol!" Bu Song masih penasaran dan tendangan itu biarpun membuatnya jatuh terguling akan tetapi tidaklah amat nyeri, maka ia sudah cepat bangun kembali. "Kalau begitu pembesar negeri yang menyuruhmu itu sewenang-wenang!" bentaknya pula. Si Muka Hitam tertawa dan juga penasaran. Tendangannya amat keras dan ia terkenal sebagai seorang yang kuat. Bagaimana orang muda ini masih sanggup bangun dan malah kini membuka mulut menegur pembesar negeri? "Kau menentang?" bentaknya dan kini tangan kanannya bergerak memukul, menyambar ke arah muka Bu Song. Pemuda ini melihat jelas pukulan menyambar. Ia kaget dan berusaha mengelak, akan tetapi mukanya bertemu dengan pukulan kiri yang menyusul. "Dessss!" Pukulan ini keras sekali dan membuat matanya berkunang dan pada saat itu sebuah tinju yang amat keras telah menghantam dadanya, membuat tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Tujuh orang itu tertawa-tawa, akan tetapi diam-diam Si Muka Hitam heran dan kaget sekali melihat betapa pemuda itu sudah bangun lagi dengan cepat, seakan-akan tidak merasakan pukulan-pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga itu! Diam-diam ia menaruh curiga dan memandang pemuda yang luar biasa kuat menahan pukulan itu yang sudah berdiri tegak lagi, kemudian ia memerintahkan anak buahnya untuk naik kuda dan membawa pergi tawanan mereka. Diam-diam ia merasa jerih juga terhadap pemuda aneh itu. Akan tetapi baru saja ketujuh orang itu meloncat ke atas kuda sambil tertawa-tawa, suara ketawa mereka berubah menjadi jerit-jerit mengerikan dan mereka semua termasuk Si Muka Hitam terlempar dari atas punggung kuda dan ketika Bu Song memandang, ternyata mereka bertujuh sudah putus nyawanya. Darah mengucur dari leher mereka seperti sekawanan lembu dipotong lehernya. Dua bayangan melompat keluar dari balik pohon dan mereka ini langsung menghampiri kakek sastrawan dan menolongnya turun dari atas punggung kuda. Dua orang laki-laki ini berkepala gundul, berpakaian ringkas dengan lengan pendek, usia mereka empat puluh tahun lebih dan agaknya mereka adalah sebangsa hwesio. "Saudara Ciu Gwan Liong harap jangan khawatir. Mari kami kawal Saudara menghadap ketua kami. Biar ada seratus anjing-anjing macam mereka tentu akan kami basmi semua." Ciu Gwan Liong mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Kehormatan besar! Akan tetapi siapakah Ji-wi Suhu ini dan siapa pula ketua kalian? Aku tidak ada urusan dengan ketua kalian." "Kami dari Hui-to-pang, dan ketua kami mengundang Saudara untuk diajak berunding." "Ha-ha-ha, berunding?" Sastrawan tua itu tertawa bergelak. "Kalian orang-orang kang-ouw di mana-mana sama saja! Orang lemah macam aku ini mana dibutuhkan kalau tidak karena sebuah kitab kuno? Ji-wi Losuhu ketahuilah bahwa kitab yang dicari-cari itu tidak ada padaku. Aku bersumpah, kitab itu tidak ada padaku!" Dua orang gundul itu saling pandang, kemudian seorang diantara mereka berkata sambil tertawa dingin, "Kami hanya melakukan perintah membawa Saudara menghadap Pangcu Ketua kami." "Ji-wi Tuan Berdua adalah pendeta-pendeta yang mengutamakan kebajikan, mengapa kini menggunakan kekerasan memaksa orang untuk ikut?" Tiba-tiba Bu Song mendekati dan membela kakek itu. "Bukankah dalam kitab sucimu terdapat ujar-ujar Nabi Buddha bahwa seorang bhikku pendeta biarpun masih muda asal ia mentaati ajaran Sang Buddha, ia akan menerima penerangan dunia seperti bulan purnama terbebas awan? Kalau dua orang pendeta seperti Ji-wi sudah menggunakan kekerasan, membunuh orang dan memaksa kakek ini untuk ikut, bukankah itu sudah melanggar segala hukum agama kalian sendiri dan berarti memupuk dosa?" Dua orang hwesio itu saling pandang, muka mereka berubah merah dan sinar mata mereka menjadi bengis. Melihat pemuda yang telah diserahi kitab ini kembali mencampuri urusan secara berani mati untuk membelanya, sastrawan tua itu cepat-cepat berkata, "He sastrawan muda yang gila! Kau mau mengikuti ujian, pergilah dan jangan usil mencampuri urusan orang lain! Terhadap Ji-wi Losuhu ini, aku sanggup mengatasi, tidak membutuhkan bantuanmu. Hayo pergi, sikapmu memualkan perutku!" Bu Song terkejut dan heran. Masa kakek ini begini tak kenal budi, dibela malah balas memaki? Akan tetapi kemudian ia ingat bahwa kakek ini telah menyerahkan kitab kepadanya dan agaknya kitab itu yang kini diperebutkan, maka ia lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata, "Orang tua, kalau begitu biarlah kita berpisah. Harap kau orang tua suka menjaga diri baik-baik." Kemudian ia melempar pandang penuh teguran kepada dua orang hwesio itu dan membalikan tubuhnya, melangkah hendak pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba Bu Song roboh terguling ketika sebuah tangan seorang hwesio bergerak ke depan dan menyentuh pundaknya. Bukan main kuat tangan itu sehingga tanpa dapat dicegah lagi Bu Song terpelanting. "Nanti dulu, orang muda. Kau pun harus ikut kami!" "Hei, apa-apaan ini? Ji-wi Suhu kalau mau mengajak aku mengunjungi ketua kalian boleh saja, mari kita berangkat biar aku berunding atau berdebat dengannya. Akan tetapi orang muda ini tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini. Aku tidak sudi kalau pergi bersama dia!" "Dia sudah melihat kami hendak pergi bersamamu, maka ia tak boleh hidup lagi. Kalau dia tidak boleh ikut, biar dia kita tinggalkan!" jawab seorang hwesio dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Sebuah benda bersinar terang menyambar ke arah Bu Song dan pemuda yang tanpa disadarinya sendiri telah memiliki pandang mata yang kuat dan tajam itu dapat melihat sebatang golok kecil melayang menuju ke arah lehernya! Akan tetapi karena ia tidak pernah memperlajari bagaimana cara orang mengelak dari ancaman seperti itu, ia menjadi bingung dan pada saat itu, dari arah yang berlawanan, menyambar sebuah benda kecil yang dengan kecepatan kilat melayang dan membentur hui-to golok terbang itu. "Cringg!" Golok itu runtuh di atas tanah terpukul oleh sebuah benda yang hanya sebuah batu kerikil saja. Dua orang hwesio itu mengangkat muka dan ternyata tak jauh dari situ telah berdiri seorang kakek tua yang kedua kakinya lumpuh dan berdirinya di atas kedua tongkat yang dipegangnya. Kedua kakinya bersila. Bu Song tentu saja mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin, kakek yang menjadi paman dari ibu gurunya! Biarpun ia tidak pernah menyukai kakek ini yang ia anggap kasar, galak, aneh dan ganas, namun kini ia harus mengakui bahwa kakek ini telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman golok terbang tadi. "Kong-lo Sengjin!" Seorang di antara dua hwesio itu membentak. "Kembali kau hendak memusuhi Hui-to-pang! Belum lama ini seorang saudara kami kaubujuk membunuh isteri Kim-mo Taisu dan kaubiarkan ia tewas di tangan Kim-mo Taisu!" "Ha-ha, salahnya sendiri dia tidak kuat melawan Kim-mo Taisu!" "Kau yang mengkhianatinya, kau berjanji hendak menghadapi Kim-mo Taisu. Sekarang ternyata kau malah menarik Kim-mo Taisu menjadi sekutumu. Kau curang dan sekarang apalagi yang hendak kaulakukan kepada kami?" "Hwesio-hwesio tengik. Kau ini orang-orang apa berani bicara seperti itu kepadaku? Aku datang melarang kalian membunuh pemuda ini, dan tentang Ciu Gwan Liong, dia akan ikut bersamaku, bukan bersama kalian! Hayo lekas menggelinding pergi dari sini!" "Kong Lo Sengjin orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi kami tidak!" Bentakan ini disusul gerakan kedua tangan mereka dan tampaklah sinar berkelebatan. Kiranya banyak sekali golok terbang telah menyambar dan melayang ke arah tubuh kakek lumpuh itu bagaikan hujan. Hebat memang kepandaian yang merupakan keistimewaan tokoh-tokoh Hui-to-pang ini. Sinar terang golok-golok kecil itu sampai menyilaukan mata, mengeluarkan suara angin besar dan selain cepat melebihi anak panah terlepas dari busur, juga amat kuat karena digerakkan dengan pengerahan tenaga lwee-kang tinggi. Bu Song yang menonton dari samping merasa ngeri karena ia selain silau memandang sinar berkelebatan, juga tidak tahu bagaimana seorang manusia dapat menyelamatkan diri dari bahaya yang demikian hebatnya. Tujuh orang penunggang kuda yang lihai-lihai tadi seketika tewas, karena diserang sebuah hui-to setiap orang dan dia sendiri kalau tidak tertolong Kong Lo Sengjin, tentu telah disembilih golok terbang. Apalagi sekarang kakek lumpuh itu sekaligus diserang dengan hui-to yang sedemikian banyaknya. Mana mungkin menyelamatkan diri? Ia sudah membayangkan betapa kakek itu akan roboh dengan tubuh tersayat-sayat menjadi beberapa potong daging kecil-kecil! Akan tetapi kali ini serangan golok-golok terbang itu ditujukan kepada Kong Lo Sengjin, seorang kakek sakti yang berilmu tinggi. Memang kakek ini pun terkejut melihat hebatnya serangan kedua orang hwesio itu, dan maklum bahwa benda-benda terbang itu amat kuat dan berbahaya, tidak mungkin dapat ia halau dengan kedua lengan kosong belaka. Namun kakek ini segera mengayun tubuhnya dan kedua tongkat yang menggantikan kedua kaki itu kini diputar-putar di sekeliling tubuhnya, berubah menjadi segulung sinar yang melingkar-lingkar. Terdengar suara trang-tring trang-tring tiada hentinya dan amatlah indah pemandangan di waktu itu. Sinar-sinar berkeredepan itu yang melayang ke arah kakek lumpuh, kini berpencaran seperti bintang-bintang jatuh dan suara nyaring yang terdengar karena bertemunya golok-golok terbang dengan kedua tongkat seakan-akan menimbulkan semacam musik yang aneh. Akhirnya habislah puluhan batang golok yang menjadi bekal kedua orang tokoh Hui-to-pang itu. Mereka berhenti melemparkan golok terbang dan berdiri dengan mata mendelik memandang lawan. Akan tetapi kini Kong Lo Sengjin pun sudah kehilangan tongkatnya dan tampak ia duduk bersila di atas tanah. Kedua tongkat yang tadinya mewakili kedua kaki dan kemudian dipergunakan untuk menangkisi golok-golok terbang itu ternyata telah hancur menjadi beberapa potong, menggeletak di depan kakinya yang lumpuh. Ternyata semua golok terbang dapat ditangkis akan tetapi kakek itupun kehilangan sepasang tongkatnya yang menjadi rusak. Bu Song kaget dan mengira bahwa kakek itu terluka. Biarpun ia tidak pernah merasa suka kepada kakek itu, dan tadi hatinya berdebar keras mendengar percakapan antara mereka tentang pembunuhan yang dilakukan atas diri ibu gurunya yang ternyata merupakan persekongkolan antara kakek lumpuh itu dan orang Hui-to-pang, namun melihat kakek itu tak berdaya agaknya, ia merasa kasihan dan melangkah mendekati. "Locianpwe, apakah kau terluka? Sungguh tak tahu malu kedua hwesio itu, mengeroyok seorang tua yang lumpuh dengan golok terbang!" Kong Lo Sengjin tertawa. "Aku hanya kehilangan kedua tongkatku, akan tetapi tidak mengapa, ada engkau di sini yang menggantikannya. Hayo, anak tolol, kau Bantu kakekmu mengantar mereka ke neraka!" Bu Song kaget sekali. "Apa... apa maksud Locianpwe.....?" Akan tetapi tiba-tiba tubuh kakek itu bergerak, mencelat ke atas dan sebelum Bu Song tahu apa yang hendak dilakukan kakek itu, tubuh itu telah menyambar dan tahu-tahu telah berada di atas punggungnya! Kedua kaki yang lumpuh itu bergantungan dari atas kedua pundaknya dan ternyata kakek itu sudah menduduki tengkuknya! "Hayo bawa aku mendekati mereka!" teriak Kong Lo Sengjin. Tahulah kini Bu Song maksud kakek itu. Ia hendak dijadikan semacam kuda tunggang karena kakek itu lumpuh dan tidak dapat berjalan! Tentu saja ia merasa tidak suka, apalagi kalau disuruh bertempur, akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya terdorong ke depan dan tanpa dapat ia tahan lagi kedua kakinya sudah melangkah cepat ke depan. Kiranya kakek sakti itu menggunakan tenaga saktinya untuk memaksa dan mendorongnya. Kedua orang hwesio Hui-to-pang itu pun marah melihat hui-to-pang mereka tidak berhasil tidak berhasil merobohkan Kong Lo Sengjin, hanya merusak sepasang tongkatnya. Akan tetapi mengingat bahwa kakek lumpuh itu kehilangan senjatanya, mereka menjadi besar hati dan segera menerjang maju, menyerang Kong Lo Sengjin dan tentu saja karena Bu Song tidak terluput pula dari serangan-serangan! Dapat dibayangkan betapa kecut hati Bu Song. Ia merasa angin menyambar-nyambar dari depan dengan dahsyatnya. Akan tetapi Kong Lo Sengjin juga sudah bergerak, kedua tangannya menyambar-nyambar ke depan dan bukan main hebat dan dahsyatnya angin pukulan yang keluar dari tangan dan lengan bajunya. Begitu kakek lumpuh ini memutar kedua tangannya, lawan-lawannya terdesak mundur dan mengeluarkan seruan kaget. "Ha-ha-ha, kalian hendak lari ke mana?" Kong Lo Sengjin berseru dan tubuhnya sampai hampir tergantung dari leher Bu Song saking besarnya nafsu menjatuhkan kedua lawannya yang selalu melompat menjauhkan diri. Beberapa kali kakek itu menepuk kepala Bu Song sambil menghardik, "Hayo cepat kejar mereka, tolol!" Akan tetapi Bu Song yang tidak mempunyai nafsu untuk berkelahi, hanya bergerak seenaknya saja, hanya menurutkan dorongan yang memaksa tubuhnya mendoyong ke depan atau ke kanan kiri dan melakukan langkah kalau terpaksa saja. Ternyata bahwa kedua orang hwesio itu hanya istimewa dalam penggunaan hui-to saja. Dalam pertandingan tangan kosong, mereka bukanlah lawan Kong Lo Sengjin yang memiliki sin-kang jauh lebih kuat daripada mereka. Semua serangan mereka, baik yang ditujukan kepada tubuh kakek itu maupun yang mereka arahkan kepada Bu Song membalik oleh dahsyatnya angin gerakan kedua lengan kakek lumpuh. Mereka menyadari hal ini, maka setelah melawan dengan susah payah selama puluhan jurus, keduanya lalu melompat dan melarikan diri. "Tolol, kejar mereka!" Kong Lo Sengjin menjambak-jambak rambut Bu Song. Akan tetapi Bu Song tidak mau, bahkan berdiri tegak. "Saya tidak bisa lari secepat mereka, pula apa gunanya saya mengejar mereka, Locianpwe?" "Hayo kejar mereka, kalau tidak kuhancurkan kepalamu!" Kong Lo Sengjin membentak lagi. Akan tetapi Bu Song tidak menjawab, melainkan memandang ke kiri dan berseru. "Celaka, Kakek itu menggantung diri!" Amat cepat gerakan Kong Lo Sengjin. Tubuhnya sudah mencelat dari atas pundak Bu Song dan dalam keadaan melayang ini ia sekali sambar sudah memutuskan tali gantungan dan melempar tubuh Ciu Gwan Liong ke atas tanah, sedangkan dia sendiri pun sudah bersila di dekatnya. "Tua bangka sialan!" Kong Lo Sengjin mengomel, akan tetapi ia tidak pedulikan kakek sastrawan yang sudah megap-megap itu, melainkan cepat ia memeriksa semua pakaian Ciu Gwan Liong dan mengeluarkan isi sakunya. Akan tetapi benda yang dicari-cari, kitab itu, tidak ada. Kong Lo Sengjin menjadi marah, ia mencengkeram kedua pundak kakek yang sudah sekarat itu, mengguncang-guncang dan mengangkat tubuhnya sambil berseru, "Di mana kitab itu? Hayo katakan, dimana kitab itu?" Suaranya amat menakutkan dan penuh ancaman. "Locianpwe, jangan siksa dia. Lihat dia sudah payah..." "Tidak peduli! Heii, Ciu Gwan Liong, hayo bilang, dimana kitab itu kausembunyikan? Demi iblis, kalau tidak mengaku, kusiksa kau biar mati perlahan-lahan!" "Locianpwe..." Bu Song sudah hampir saja mengaku dan menyerahkan kitab itu karena ia tidak tahan menyaksikan kakek yang lemah itu tersiksa, akan tetapi pada saat itu Si Sastrawan tua sudah membuka mata dan berkata lemah. "Kitab itu kuberikan.... kepada..... Kim-mo Taisu..." Setelah berkata demikian, kakek itu menjadi lemas dan ketika Kong Lo Sengjin melepaskannya, ia telah tewas! Bu Song menundukkan mukanya dan menarik napas panjang. "Biarkan aku mengubur jenazahnya....." katanya perlahan, lalu ia memungut sebatang golok besar dari pinggang mayat seorang di antara tujuh penunggang kuda tadi. "Dan mayat mereka juga....." tambahnya. "Huh, bocah kurang pekerjaan engkau ini. Eh, mana Gurumu? Dan mengapa engkau berada di sini?" "Saya diutus oleh Suhu untuk menempuh ujian di kota raja, Locianpwe. Adapun Suhu sendiri sudah meninggalkan gunung untuk membalas dendam kematian Subo." Kong Lo Sengjin termenung sejenak. "Kau buatkan sepasang tongkat untukku. Hayo lekas! Aku harus segera pergi dari sini!" Bagi Bu Song, lebih lekas kakek itu pergi lebih baik, maka tanpa membantah ia lalu naik ke atas pohon, memilih dua batang cabang pohon dan menebangnya dengan golok. Setelah membuangi ranting dan daunnya, ia menyerahkan sepasang tongkat itu kepada Kong Lo Sengjin. Kakek ini menerima sepasang tongkat dan sekali menggerakkan tubuhnya, ia sudah "berdiri" di atas kedua tongkat itu. "Kau dengar baik-baik! Menurut Kakek sastrawan ini, kitabnya diserahkan kepada Suhumu. Hal ini berarti Suhumu akan dimusuhi dan dicari orang seluruh kang-ouw. Maka kau harus tutup mulut, jangan bicarakan hal itu kepada siapapun juga. Awas kalau, kau membongkar rahasia ini, aku akan datang dan menghacurkan kepalamu, mengerti?" "Mengerti, Locianpwe." Kong Lo Sengjin tersenyum dan mengangguk-angguk, kemudian ia melesat pergi dengan kecepatan yang membuat Bu Song kagum dan bengong. Tapi ia lalu tak memperhatikan lagi kakek itu dan segera mulai dengan tugasnya mengubur mayat Ciu Gwan Liong dan mayat ke tujuh orang penunggang kuda tadi. Matahari telah terbenam ke langit barat ketika ia menyelesaikan tugasnya, kemudian sambil menggendong bungkusan pakaiannya, ia melanjutkan perjalanannya, melangkahkan kaki menuju ke tembok kota raja. Untung pintu gerbang belum tertutup dan tergesa-gesa ia memasuki kota raja yang amat asing baginya. Kagum ia melihat gedung-gedung besar akan tetapi juga hatinya kecut ketika ia menyaksikan para pengawal dan orang-orang berpakaian seperti tujuh orang penunggang kuda yang mayatnya ia kubur tadi menjaga di tiap pintu gerbang gedung-gedung besar itu. Dengan bertanya-tanya, mudah saja ia mencari rumah penginapan Liok-an yang berada di ujung kiri jalan raya, dekat pintu gerbang kota raja sebelah barat. Rumah penginapan Liok-an ini tidak besar, dan huruf Liok-an yang terpancang di atas papan depan rumah itu sudah tua. Karena hari sudah menjelang gelap, Bu Song merasa tidak sopan mencari tempat sahabat atau kenalan gurunya, maka ia lalu memasuki rumah penginapan itu dan minta kamar kepada seorang pelayan tua yang menyambutnya. Losmen ini kecil dan miskin, maka tidak banyak tamunya dan dengan mudah Bu Song mendapatkan sebuah kamar. Kemudian kepada pelayan tua ia bertanya tentang seorang pengurus rumah gadai bernama Ciu Tang yang katanya tinggal di sebelah kiri losmen itu. "Ciu Tang? Memang ada, dan sore hari begini rumah gadai sudah tutup. Rumahnya di sebelah belakang losmen ini. Apakah Kongcu hendak menemuinya?" "Benar, Lopek. Akan tetapi besok pagi-pagi saja. Saya harap kau suka mengantar saya ke sana." Pelayan itu senang dengan sikap dan kata-kata pemuda yang sopan ini, maka ia segera menyatakan kesanggupannya. Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi ia sudah diantar pelayan itu ke sebuah rumah dalam lorong kecil dekat losmen. Setelah bertemu dengan orang yang dicarinya, pelayan itu meninggalkannya. Ciu Tang seorang setengah tua yang tinggi kurus, berjenggot panjang akan tetapi terpelihara dan pakaiannya biarpun tidak mewah cukup rapi. Bu Song cepat memberi hormat dan berkata, "Maafkan kalau kedatangan saya mengganggu Paman. Saya Liu Bu Song dan kedatangan saya adalah atas kehendak Suhu yang membawakan sebuah surat untuk Paman." Ia mengeluarkan surat Kim-mo Taisu dan menyerahkannya kepada laki-laki berjenggot itu. Begitu menerima surat dan membaca nama pengirimnya, Ciu Tang cepat-cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan wajahnya berubah penuh hormat. "Ah, kiranya hiante ini murid tuan penolong kami Kim-mo Taisu? Silakan duduk, silakan..." Bu Song menghaturkan terima kasih dan mereka duduk di atas bangku menghadapi sebuah meja bundar bentuknya. Ciu Tang membuka sampul surat dan membaca sambil meraba-raba jenggot dan mengangguk-angguk. Kemudian ia melipat surat dan menyimpannya dalam saku baju. "In-kong Tuan Penolong sudah mengatakan halmu hendak mengikuti ujian dan mengingat akan budi yang dilimpahkan in-kong kepada kami, maka saya akan berusaha sedapat mugkin menolongmu, Hiante." Bu Song cepat-cepat memberi hormat dan berkata, "Terima kasih atas kesanggupan Paman, dan saya mohon petunjuk." Orang yang bernama Ciu Tang itu menarik napas panjang. "Aahhh, dengan adanya perang terus-menerus, perebutan kekuasaan dan penggantian pemerintahan, nasib kita kaum terpelajar sungguh celaka! Karena keadaan tidak pernah aman, maka para pembesar jarang ada yang jujur, bertindak menindas dan korup. Dalam hal ujian juga sama saja. Setiap tahun banyak yang mengikuti ujian, namun yang berhasil dan lulus hanyalah mereka yang dapat menyuap dengan banyak emas! Namun, saya mengenal kepala bagian ujian, yaitu Pangeran Suma Kong. Biarpun belum tentu beliau sudi memandang muka saya, namun setidaknya tentu Hiante akan mendapat perhatiannya dan tidak akan dilewatkan begitu saja." "Banyak terima kasih, Paman. Sungguh budi Paman amat besar." "Ah, jangan bicara tentang budi, Hiante. Kalau mau bicara tentang budi, maka gurumulah yang telah melimpahkan budi kepada kami sekeluarga. Kalau tidak Gurumu, tidak hanya perusahaanku bangkrut, akan tetapi mungkin kami serumah tangga sudah binasa semua!" Lalu tuan rumah itu bercerita betapa dahulu ketika ia diganggu gerombolan penjahat di kota raja dan anak perempuannya hendak dirampas, ia telah ditolong oleh Kim-mo Taisu yang membasmi gerombolan itu sehingga keluarganya selamat dan perusahaannya biarpun kecil masih dapat berjalan sampai sekarang. Bu Song lalu diperkenalkan dengan nyonya rumah yang amat ramah dan tiga orang anak laki-laki belasan tahun yang semua merupakan anak-anak terpelajar pula. Puteri sulung keluarga itu sudah menikah dan tinggal di kota An-sui. Selanjutnya Bu Song diminta tinggal di rumah keluarga Ciu Tang sambil menanti pembukaan waktu ujian. Memang benar apa yang diceritakan Ciu Tang kepada Bu Song. Pada waktu itu, yang menjadi kepala bagian ujian adalah Pangeran Suma Kong, seorang pangeran yang menggunakan kedudukannya untuk mencari keuntungan besar bagi dirinya sendiri. karena dia masih terhitung warga dengan keluarga Raja Cou Muda, maka kekuasaannya besar juga dan biarpun tindakannya yang korup ini bukan rahasia lagi, namun tidak ada yang berani mengganggunya. Karena ia hanya memperhatikan para pelajar pengikut ujian yang sanggup memberi sogokan besar, maka hasil ujian itu tentu saja bukan didasarkan atas baik buruknya tulisan atau pandai tidaknya si pengikut, melainkan didasarkan atas besar kecilnya uang sogokan! Tentu saja Pangeran Suma Kong bukan seorang sembrono. Dia tentu lebih senang kalau mendapatkan penyogok yang memang pintar, karena meluluskan seorang pengikut yang terlalu bodoh juga merupakan hal yang mendatangkan resiko besar baginya. Maka setiap diadakan ujian, dia sendiri selalu memeriksa hasil para pengikut. Kurang lebih sebulan setelah Bu Song tiba di kota raja, ujian diadakan. Dengan hati berdebar Bu Song mengikuti ujian dan alangkah girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan betapa mudah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kertan ujias, dan betapa mudah judul-judul yang harus ia buat dalam karangan. Pada masa itu, ujian didasarkan kepada pengetahuan filsafat-filsafat dan ujar-ujar dari kitab-kitab kuno. Karena Bu Song memang menggemari hal ini, tentu saja hampir semua telah hafal olehnya dan dengan mudah saja ia memenuhi syarat dan dapat menjawab dengan memuaskan dalam bentuk tulisan yang indah. Ciu Tang bukanlah seorang kaya raya. Memang ia pun memberi uang sogokan untuk membela Bu Song, akan tetapi dibandingkan dengan penyogok-penyogok lain, jumlahnya terlalu kecil. Akan tetapi karena Ciu Tang seringkali menjadi "perantara" bagi para penyogok yang tiap tahun membanjiri kota raja, dia sudah dikenal oleh pangeran Suma Kong dan inilah yang memberi harapan kepadanya karena dalam suratnya ia mengaku bahwa Liu Bu Song adalah seorang keponakannya sendiri! Seperti biasa terjadi tiap tahun, hasil ujian itu menghancurkan harapan puluhan, bahkan ratusan pelajar yang semula datang ke kota raja penuh harapan. Mereka dinyatakan gagal dalam ujian! Bertahun-tahun waktu terbuang sia-sia mempelajari puluhan ribu huruf, menghafal ratusan sajak, menelan ribuan bait ujar-ujar kuno! Hanya beberapa puluh orang yang dinyatakan lulus, yaitu mereka yang membawa bekal cukup tebal. Di antara mereka yang dinyatakan tidak lulus termasuk nama Liu Bu Song! "Luar biasa!" Bu Song berseru heran dan menyesal ketika mendengar pengumuman itu. "Semua pertanyaan dapat saya jawab dan semua sajak dan karangan saya tulis sebaiknya dalam waktu paling cepat!" "Tidak aneh...... sama sekali tidak aneh!" kata Ciu Tang sambil menggerak-gerakkan tangan. "Kita tidak punya banyak emas, itulah sebabnya kau tidak lulus, Hiante. Saya menyesal sekali, dan merasa malu hati terhadap inkong Kim-mo Taisu, akan tetapi apa mau dikata, saya bukanlah orang kaya..." "Harap Paman Ciu Tang jangan sesalkan hal itu!" Cepat Bu Song berkata menghibur. "Suhu sendiri sudah tahu akan hal ini dan sama sekali bukan kesalahan Paman. Saya yakin bahwa Paman sudah cukup memperjuangkan dan biarpun saya tidak lulus, tetap saja saya takkan melupakan budi kebaikan Paman. Hanya saya merasa penasaran dan heran, mengapa orang-orang terpelajar seperti mereka yang duduk di atas itu sampai hati melakukan hal-hal yang demikian memalukan? Tadinya saya kira hanya ilmu kepandaian bu silat saja yang dapat dipergunakan orang untuk kejahatan, siapa orangnya tidak akan merasa heran dan bingung memikirkan betapa orang-orang yang mempelajari segala macam keindahan seni seperti melukis dan membuat sajak, menulis halus, dapat melakukan hal-hal yang hanya patut dilakukan seorang penjahat!" "Sekarang bagaimana, Hiante? Kemana Hiante hendak pergi? Apakah hendak kembali kepada inkong Kim-mo Taisu?" Bu Song termenung. Ke mana? Gurunya pergi entah ke mana dan entah bila kembalinya. Dan untuk apa kembali ke puncak gunung? Tidak ada siapa-siapa di sana, yang ada hanya kuburan Eng Eng! Yang ada hanya kenangan penuh duka. Mencari ibunya! Ya, dia akan mencari ibunya, akan merantau ke mana saja. "Saya akan pergi, Paman. Besok saya pergi, entah kemana belum dapat saya katakan..." Ciu Tang merasa kasihan kepada pemuda ini. "Liu-hiante, kalau kau suka tinggal di sini, biarlah kau membantu perusahaanku. Bukan pekerjaan yang layak untuk seorang pelajar seperti engkau, akan tetapi lumayanlah sambil menanti kesempatan diadakan ujian lain tahun." Akan tetapi sama sekali Bu Song tidak tertarik lagi. Ia menggeleng kepala dan menjawab, "Terima kasih, Paman. Akan tetapi saya lebih suka merantau..." Pada keesokan harinya, pagi sekali Bu Song sudah siap hendak berangkat. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berhenti di depan rumah Ciu Tang dan seorang laki-laki berpakaian gagah turun dari kuda, menghampiri pintu dan langsung bertanya kepada Bu Song yang duduk di luar bersama Ciu Tang. "Apakah di sini tinggal seorang pelajar bernama Liu Bu Song?" Bu Song cepat bangkit berdiri dan menjura. "Saya sendiri bernama Liu Bu Song." Orang itu memandangi Bu Song penuh perhatian, lalu balas menjura. "Saya di utus sama Suma-ongya menyerahkan sepucuk surat." Ia mengeluarkan surat itu yang terbungkus sebuah sampul yang gagah tulisannya. "Ah, kiranya dari Suma-ongya...! Liu-hiante lekas sambut surat ongya dengan penghormatan selayaknya!" Berkata demikian, Ciu Tang menarik tangan Bu Song untuk menjatuhkan diri berlutut di depan utusan itu dan menerima surat sambil berlutut! "Silakan Tuan mengambil tempat duduk dan minum sedikit arak kami yang hangat," Ciu Tang menawarkan. Orang itu memberi hormat dan berkata, "Terima kasih, saya ada keperluan lain. Hanya saya mendengar pesan Ong-ya tadi bahwa orang muda ini amat diharapkan kedatangannya menghadap secepatnya!" Ia menjura lagi lalu keluar dan meloncat ke atas kudanya. Terdengar derap kaki kuda menjauhi rumah itu. Ciu Tang menarik tangan Bu Song berdiri. Pemuda itu masih bengong karena ia merasa kurang senang harus menerima surat secara itu, seperti menerima maklumat raja saja! "Lekas buka dan baca, Hiante. Siapa tahu engkau mendapatkan keistimewaan, karena surat dari Suma-ongya tentu hanya ada hubungannya dengan hasil ujianmu. Lekas buka dan baca!" Suara Ciu Tang gemetar penuh ketegangan. Akan tetapi Bu Song tenang-tenang saja. Jari-jarinya tidak gemetar ketika ia membuka sampul surat itu dan mencabut keluar sehelai kertas tipis halus yang penuh tulisan indah. "Pangeran Suma Kong tertarik akan tulisan pengikut ujian Liu Bu Song dan memerintahkan kepadanya datang menghadap secepatnya ke istana untuk diberi tugas pekerjaan." "Wah, kionghi....., kionghi...... selamat..., selamat, Liu-hiante!" seru Ciu Tang kegirangan. Akan tetapi Bu Song tidaklah segembira Ciu Tang. Sesungguhnya bukan pangkat dan kedudukan yang ia harapkan dari hasil ikut ujian ini, apalagi kalau kedudukan itu ia dapatkan seperti seorang pengemis menerima sedekah! Apa sesungguhnya yang menjadi tujuannya mengikuti ujian, dia sendiri pun tidak tahu. Semenjak kecil dahulu, ia mempelajari ilmu kesusasteraan adalah karena memang ia suka membaca dan menulis, suka membaca sajak-sajak dan kitab-kitab kuno tentang filsafat hidup. Dan kini ia mengikuti ujian hanya untuk mentaati perintah suhunya. Di samping ini, memang ia pun tahu bahwa semua orang mengejar ilmu kepandaian bun akhirnya untuk mengikuti ujian dan mendapat gelar siucai, sungguhpun ia sendiri tidak pernah mengerti apakah artinya mendapatkan gelar itu. Agaknya oleh karena ia tidak suka mempelajari ilmu silat itulah yang membuat ia lebih condong memperdalam ilmu sastera. "Paman Ciu, mengapa Paman memberi selamat kepadaku? Bagiku sendiri, aku belum tentu suka menerima penawaran ini." "Hah? Bagaimana ini, Liu-hiante? Diberi tugas pekerjaan oleh Suma-ongya, hal ini merupakan penghormatan yang amat tinggi! Belum tentu ada seorang di antara seratus yang memiliki nasib sebaik ini. Apalagi kalau diingat bahwa kau dinyatakan tidak lulus ujian!" "Justeru itulah, Paman, yang membuat hatiku menjadi dingin. Kalau aku dinyatakan tidak lulus, mengapa diberi pekerjaan? Kalau Pangeran itu tertarik akan tulisanku, mengapa pula aku tidak lulus?" "Ah, engkau masih saja belum dapat melihat kenyataan, Liu-hiante. Suma-ongya tertarik hatinya melihat tulisanmu yang indah lalu ingin memberi pekerjaan, itu berarti jodoh dan memang bintangmu sedang terang. Adapun tentang tidak lulusmu dalam ujian, itu adalah karena kurang syaratnya. Mengapa hal seperti itu masih diherankan pula?" Bu Song mengangguk. "Sungguh, Paman. Aku sudah dapat melihat kenyataan, kenyataan yang amat pahit, kenyataan menyedihkan yang membuat aku enggan bekerja pada seorang pembesar yang demikian tidak adilnya. Aku akan pergi saja sekarang juga, Paman." Ciu Tang melompat bangun dan memegangi lengan pemuda itu, mukanya berubah pucat. "Liu-hiante..... memang saya tidak berhak memaksamu...., akan tetapi apakah kau hendak merusak apa yang pernah dilindungi Suhumu?" "Apa maksudmu, Paman?" "Keselamatan keluargaku pernah satu kali diselamatkan Suhumu dan untuk itu aku selamanya takkan melupakan budi Suhumu. Akan tetapi kalau sekarang engkau pergi, berarti keselamatan keluargaku akan hancur. Suma-ongya tentu takkan mau menerima penolakanmu begitu saja. Penolakanmu akan dianggap sebagai penghinaan dan karena aku sudah mengakuimu sebagai keponakanku sendiri, tentu saja kemarahannya akan ditimpakan kepada diriku sekeluarga." "Ah, begitukah.....?" Bu Song menjatuhkan diri duduk di atas bangku dengan tubuh lemas. Tentu saja ia tidak menghendaki hal itu terjadi. "Kalau Hiante suka memenuhi undangan dan perintah Suma-ongya, berarti kau telah mengulang perbuatan mulia Suhumu dan telah menolong kami sekeluarga, karena sedikit banyak diterimanya engkau di sana memberi muka terang kepadaku. Untuk itu sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih!" Setelah berkata demikian, Ciu Tang menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu. Bu Song cepat-cepat dan sibuk mengangkat bangun tuan rumah itu dan ia berkata, "Harap Paman jangan bersikap seperti ini. Baiklah, saya akan pergi menghadap Suma-ongya sekarang juga dan marilah Paman menemaniku." "Tentu saja! Tentu saya antar! Tunggu saya berganti pakaian, dan kau pun harus mengenakan pakaian yang paling rapi, Hiante?" Seperti seorang anak kecil menerima hadiah Ciu Tang berlari-lari memasuki ramahnya dengan wajah amat gembira. Bu Song menarik napas panjang, termenung sejenak, lalu mengangkat kedua pundaknya dan membuka bungkusan untuk berganti dengan pakaiannya yang bersih. Tak lama kemudian keduanya telah berangkat menuju ke istana Pangeran Suma Kong. Di sepanjang jalan, Ciu Tang mengangkat dadanya tinggi-tinggi dan setiap kali ada seorang kenalan bertanya, ia menjawab dengan suara dikeraskan, "Pergi mengantar keponakanku yang diterima menjadi pembatu Suma-ongya!" Bu Song yang dapat melihat dan mengenal watak manusia dari pelajaran di kitab-kitabnya, hanya tersenyum dan diam-diam ia merasa kasihan kepada orang baik yang berwatak lemah ini. Betapapun juga, ia merasa amat kagum ketika ia diterima oleh penjaga dan dibawa masuk ke ruangan depan istana yang megah itu. Semua perabot serba indah dan mewah, juga bersih mengkilap. Pada dinding bergantungan lukisan-lukisan yang amat luar biasa, dihias tulisan-tulisan yang luar biasa indahnya pula. Bukan main, pikir Bu Song. Samar-samar ia masih teringat bahwa ketika kecil dahulupun rumah ayahnya merupakan sebuah gedung besar, namun tidaklah sehebat ini. Istana ini penuh dengan benda-benda seni yang menggetarkan hati setiap orang sastrawan yang suka akan hasil karya yang indah-indah seperti itu. Mereka disuruh menanti di ruangan depan, yaitu ruangan tamu, karena menurut penjaga, Sang Pangeran masih belum bangun dari tidurnya! Akan tetapi, agaknya maklum bahwa mereka adalah orang-orang yang diundang oleh Pangeran, maka tak lama kemudian seorang pelayan keluar membawa teh wangi yang hangat! Bu Song tak dapat diam di atas bangku. Ia menoleh ke sana ke mari mengagumi dan membaca sajak-sajak pasangan yang menghias dinding, juga kadang-kadang menengok keluar untuk menikmati keindahan taman bunga yang mengelilingi istana itu. Jauh di samping, agak ke belakang, melalui sebuah pintu berbentuk bulan, ia dapat melihat kolam ikan dengan air mancur tinggi. Air itu memecah di atas dan karena matahari pagi sudah mulai bersinar, tampaklah air itu menjadi beraneka warna seperti pelangi. Bukan main! Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh langkah seorang dari luar dan ternyata dia adalah seorang pemuda yang berpakaian indah dan berwajah tampan, berusia dua puluh tahun lebih, pakaiannya seperti sastrawan pula, akan tetapi begitu bertemu pandang, Bu Song di dalam hatinya mendapat kesan tak menyenangkan. Pada pandang mata itu, dan bentuk hidung itu, membayangkan sesuatu yang tidak baik. Ia tidak tahu siapa adanya pemuda berpakaian mewah ini, maka ia duduk saja dengan tenang. Tidak demikian dengan Ciu Tang. Melihat pemuda ini, segera ia bangkit berdiri menyambut maju dan begitu pemuda itu memasuki ruangan, ia segera menjura dengan dalam sehingga tubunya terlipat dua, mulutnya berkata penuh hormat. "Suma-kongcu, selamat pagi....! Harap kongcu selalu dalam sehat gembira!" Pemuda itu berhenti dan membalas penghormatan yang berlebihan itu dengan anggukan kepalanya. "Ah, bukankah kau Paman Ciu Tang yang membuka pegadaian di dekat losmen Liok-an? Ada apa pagi-pagi ke sini, dan siapakah Saudara ini?" Biarpun kata-katanya ramah, namun mengandung ketinggian hati. Ciu Tang menengok dan berkedip kepada Bu Song, memberi isyarat supaya pemuda itu bangkit berdiri lalu memperkenalkan, "Begini, Kongcu. Keponakan hamba ini, Liu Bu Song, mengikuti ujian dan agaknya menarik perhatian Suma-ongya maka kini dipanggil menghadap." Terpaksa Bu Song mengangkat kedua tangan dan memberi hormat selayaknya menurut kesopanan. Pemuda itupun hanya mengangguk, akan tetapi matanya memandang Bu Song penuh perhatian. Ia melihat pemuda sederhana itu tubuhnya tinggi besar dan membayangkan tenaga kuat, namun sikapnya sederhana dan sewajarnya, sama sekali tidak memperlihatkan sikap congkak seperti biasa seorang terpelajar, juga tidak membayangkan sikap menjilat seperti orang-orang macam Ciu Tang. Diam-diam putera pangeran ini tertarik dan senang hatinya. Ia benci melihat pemuda-pemuda yang tinggi hati, akan tetapi lebih benci lagi melihat mereka yang suka menjilat. Pemuda ini adalah putera Pangeran Suma Kong. Namanya Suma Boan dan dia bukanlah seorang pemuda yang tidak terkenal. Mungkin lebih terkenal daripada ayahnya, karena pemuda ini selain suka bergaul dengan rakyat, juga ia terkenal seorang pemuda yang pandai ilmu silat. Kesukaannya memang mempelajari ilmu silat dan entah berapa banyaknya guru silat yang pernah mengajarnya dan juga pernah ia robohkan. Setiap ia mendengar ada seorang guru silat baru, ia tentu mendatanginya dan mengajaknya pibu. Kalau ia kalah, dia memberi hadiah banyak dan minta diajar ilmu yang telah mengalahkannya, akan tetapi kalau guru silat itu kalah, jangan harap guru silat itu dapat membuka perguruannya. Wataknya peramah dan pandai bergaul, akan tetapi sayang sekali, pemuda bangsawan ini pun seorang mata keranjang yang suka mengganggu wanita cantik mengandalkan kedudukan dan kepandaiannya. Akhir-akhir ini kepandaiannya melonjak cepat sekali. ia menemukan seorang guru yang benar-benar hebat, yaitu Pouw-kai-ong yang sudah kita kenal! Raja Pengemis she Pouw itu menjadi guru Suma Boan sehingga pemuda bangsawan ini memiliki ilmu silat tinggi dan ia bahkan di dunia kang-ouw mendapat julukan Lui-kong-sian Dewa Geledek, sebuah julukan yang diberikan orang untuk mengangungkannya dengan maksud menjilat! "Saudara Liu, apakah kau selain pandai bun juga pernah mempelajari silat?" dengan sikap seperti seorang kenalan lama Suma Boan bertanya, matanya mengincar tajam. Bu Song menggeleng kepalanya. "Tidak pernah, Kongcu. Seorang terpelajar yang tahu bahwa penggunaan kekerasan adalah tidak baik, untuk apa belajar silat? Saya tidak pernah mempelajarinya." Suma Boan tersenyum mengejek dan pandangannya kini merendahkan. "Memang jarang ada Bun-bu-coan-jai pandai silat dan sastera sekarang ini!" Ia berjalan keluar lalu berhenti dekat sebuah arca singa barong. "Kalian lihat, apakah kepandaian seperti ini tidak ada gunanya?" Tangannya menangkap leher arca itu dan sekali ia berseru, singa-singaan itu terlontar ke atas, lebih tiga meter tingginya, kemudian ia sambut lagi kini terletak di atas telapak tangannya! Lengan dan tubuhnya tergetar tanda bahwa ia mengerahkan tenaganya, kemudian sekali ia menggerakkan tangan, arca itu terlempar ke depan dan roboh terguling di atas tanah.dwi
Last Updated on 1 May 2021 by Kho Ping Hoo Hanzi 許平和; Pinyin Xu Pinghe merupakan tokoh Tionghoa Indonesia yang dikenal sebagai seorang penulis cerita2 silat cersil bertema Tiongkok kuno dunia Kang Aw; Jiang Hu. Sosok yang bernama Indonesia Asmaraman Sukowati ini lahir di Sragen, 17 Agustus 1926, dan meninggal dunia di usia 67 tahun pada 22 Juli 1994 di Solo. Biografi Kho Ping Hoo Nama Lengkap Asmaraman Sukowati Nama Lain Kho Ping Ho Hanzi 許平和; Pinyin Xu Pinghe Tempat, Tanggal Lahir Sragen, 17 Agustus 1926 Meninggal Solo, 22 Juli 1994 usia 67 Pasangan Ong Ros Hwa Rosita Pekerjaan Penulis cerita silat A. Masa Kecil dan Kehidupan Awal Kho Ping Hoo, “Jalan Pedang” Sang Penulis Cersil Kho Ping Hoo merupakan warga keturunan Tionghoa yang berdarah jawa. Ia merupakan anak sulung dari 12 bersaudara. Kho Ping Hoo sendiri menikah dengan Ong Ros Hwa, seorang gadis asal daerahnya pada tahun 1945. Keduanya memiliki 13 orang anak; dimana 2 diantaranya meninggal saat usianya masih muda. Ia juga tercatat mempunyai 8 cucu. Jalan Pedang Kho Ping Hoo, begitu judul yang dibuat oleh ilustrasi Kho Kian Po, ayah dari Kho Ping Hoo, semasa mudanya pernah belajar ilmu beladiri Shaolin. Karena itu ayahnya mewariskan ilmu beladiri tersebut kepadanya, agar sang anak membiasakan diri untuk hidup disiplin. Kho memulai pendidikan dasarnya di sekolah kolonial Belanda, HIS Zendings School. Selain bersekolah, Ia sendiri mengikuti kursus tata buku. Namun pendidikannya terhenti di kelas 1 MULO setingkat SMP, dimana usianya kala itu yang masih 14 tahun, Ia sudah tidak bersekolah dan bekerja menjadi pelayan toko. Ketika Jepang memasuki kota Solo, Ia pindah ke Surabaya dan bekerja sebagai penjual Obat, seperti pil kina obat malaria ke toko. Di masa itu Ia juga sempat di digembleng oleh Kaibotai semacam hansip Jepang yang pendidikannya seperti pelatihan Militer. Setelah itu Kho muda bergabung ke dalam Barisan Pemberontak TiongHoa BPTH, yang saat itu bersekutu dengan Barisan Pemberontak rakyat Indonesia BPRI. Kho Ping Hoo sendiri selama hidupnya memeluk agama Kristen. Namun ia memberikan kebebasan kepada anak-anaknya dalam memilih keyakinannya masing-masing. B. Mendirikan Usaha Pembuatan Rokok Usai perang kemerdekaan tahun 1945, Kho Ping Hoo sempat bekerja di Kudus. Namun di tahun 1947 Ia kembali ke Sragen dan membuka usaha rokok kecil-kecilan, dimana ilmu memelinting rokoknya didapat saat ia bekerja sebagai buruh di pabrik rokok Djarum, Kudus, Jawa tengah. Namun sayang usahanya tidak bertahan lama di tahun itu, setelah pasukan Belanda datang mengobrak-abrik tempat usahanya pada Agresi Militer Belanda II. Akhirnya Ia pun harus mengulang usahanya kembali dari Nol. Saat perang, Kho datang ke pengungsian dan menetap selama 2 tahun di kota Solo hingga tahun 1949. Tak lama kemudian Ia berpindah ke Tasikmalaya dengan membawa istri dan anaknya. Disinilah dirinya dan keluarganya mempunyai semangat baru untuk memperbaiki hidup. Di Tasikmalaya Kho bekerja menjadi Staff anemer yang saat itu sedang membangun sebuah Rumah Sakit di Banjarnegara. Kesuksesan sedikit demi sedikit diraihnya. Di tahap Akhir Ia menjadi ketua asosiasi Perusahaan Pengusaha Pengangkutan Truk P3T di kawasan Priangan Timur. Meski tidak memiliki truk sendiri hanya menyewa, namun Ia sangat menyukai pekerjaan barunya. C. Perjalanan Karir Sebagai Seorang Penulis Cerita Silat Sebelum dikenal sebagai seorang penulis cerita silat, Kho Ping Hoo pernah menulis cerita tentang detektif, cerpen dan novel yang dimuat berbagai majalah seperti Liberty, Pancawarna dan Star Weekly. Dalam karya-karya tulisannya Ia menggunakan nama samaran nama penulis yaitu “Asmaraman”. Tulisannya saat itu banyak dimuat di berbagai majalah terkenal, meski sebelumnya tidak sedikit yang ditolak penerbit. Saat itu, Ia hanya menulis cerita roman saja, bahkan tidak pernah tersirat akan membuat tulisan mengenai cerita silat. Kho Ping Hoo, yang memiliki nama pena Asmaraman S. Ketertarikan Kho Ping Hoo dalam dunia tulis-menulis muncul saat Ia menetap di Tasikmalaya. Pada tahun 1958 Ia pernah menulis cerpen dan mengirimkannya pada beberapa majalah terkenal pada saat itu, seperti Star Weekly, Pantjawarna, Liberty, Tjermin, Trio dan Taruna Bhakti. Pada tahun 1959 majalah Teratai didirikan, dan untuk melengkapi isi majalah tersebut redaksi mengusulkan agar di isi dengan cerita silat. Pada saat itu, Kho Ping Hoo lah yang bertugas untuk mengisi rublik cerita silat tersebut. Saat itulah kemudian muncul cerita silat pertama Kho Ping Hoo yang berjudul “Pedang Pusaka Naga Putih”. Karya tulis tersebut sebenarnya merupakan ketidaksengajaan dan terpaksa dibuat. Namun ternyata respon pembaca justru positif. Kemudian karya tulis silat Kho tersebut dibuat menjadi cerita bersambung dan dimuat dalam beberapa majalah seperti Selecta, Monalisa dan Roman. Awalnya beliau bekerja sebagai koresponden Surat Kabar Harian Keng Po. Ia juga sempat menjadi koresponden di harian Barisan Pikiran Rakyat Bandung di tahun 1960-an. Setelah berganti-ganti pekerjaan, akhirnya Kho Ping Hoo memutuskan untuk menekuni tulis menulis cerita saja. Kho mencoba membuat sandiwara cerita dan berperan sebagai pemain sekaligus sutradaranya. Hasil karya tullisan Kho berkembang dengan sangat pesat dalam bentuk buku saku cerita silat Tionghoa. Kho yang awalnya tidak terlalu bisa bahasa mandarin tidak sekolah tinggi, dan tidak mendapat pendidikan bahasa Tionghoa mencoba mempelajari sejarah Tiongkok secara otodidak; namun bukan dari bahasa aslinya, melainkan dari buku-buku sastra berbahasa Inggris dan Belanda, karena ia sangat baik menguasai ke 2 bahasa tersebut. Selain itu, beliau juga terinspirasi dari film2 silat Hongkong dan Taiwan. Ia juga tertarik dengan sejarah klasik Indonesia. Beberapa karya tulis bertema sejarah lokal yang terkenal seperti “Badai Laut Selatan” yang diterbitkan tahun 1969, dan “Darah Mengalir di Borobudur” yang diterbitkan tahun 1961; dimana ke 2 judul tersebut juga pernah disandiwara-radiokan dialog dalam radio. Kho Ping Hoo terkenal berkat tulisannya mengenai cerita2 silat berlatar belakang sejarah Tiongkok kuno jaman dinasti. Diantaranya yang terkenal adalah Pendekar Bodoh 1961, Pendekar Super Sakti 1969, Perawan Lembah Wilis 1970, Istana Pulau Es 1972, Bu Kek Siansu 1973, dan Asmara si Pedang Tumpul 1985. Meski ia tidak mahir membaca dan menulis dalam bahasa mandarin, namun imajinasi dan bakatnya dalam menulis cerita silat ini sangat luar biasa, sehingga penggemarnya sangat luas, bahkan hingga ke dataran Tiongkok sendiri! Cerita2 silatnya waktu itu dibaca siapa saja, tidak mengenal generasi tua maupun muda. Cerita silat “Tangan geledek” karya Kho Ping Hoo tahun 1964, tampak bukunya yang telah dicetak ulang dengan gaya yang lebih modern ilustrasi Hingga akhir hayatnya, Kho Ping Hoo sudah menulis lebih dari 200 judul cerita, dimana 120 diantaranya bertema cerita silat. Beberapa ceritanya juga pernah diketoprakkan pentas drama panggung tradisional. Pada awal tahun 1980-an, Kho Ping Hoo mampu menghasilkan 2 juta rupiah per bulan dari mengarang cerita saja. Dari penghasilan menulisnya, Ia mampu menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri, dan berhasil mempunyai percetakan sendiri. Sebah rumah vila berhalaman luas yang terletak di Tawangmangu juga berhasil dibeli berkat hasil cerita karangannya. Beliau tidak merokok dan tidak makan daging. Minumnya hanya air putih. Kadang2 menyepi sendirian di kamar atau di hutan untuk “merenungi misteri Tuhan,” katanya. Caranya dalam mengarang cerita gampang saja. Bahan cerita sudah lama mengendap di otaknya. Yang penting tulis dulu sinopsis atau garis besar ceritanya. “Begitu menghadap mesin ketik, langsung saja jalan,” katanya. Istrinya Roos Hwa, alias Rosita, ikut menilai dan menimbang isi bukunya sebelum dibaca oleh masyarakat umum. Para komikus juga memberi usul agar ceritanya dibuat komik. Selain diketoprakkan dan disandiwara-radiokan, juga terdapat 3 judul cerita yang pernah dibuatkan film berseri, yakni berjudul “Dendam di Anak Haram”, “Darah Daging” dan “Buaian Asmara”. Selain itu, 2 cerita silatnya juga diangkat ke layar lebar, yakni“Badai Laut Selatan” di tahun 1991 dan “Perawan Lembah Wilis” di tahun 1993. Ke-2 film yang diangkat ke layar lebar tersebut juga diangkat dalam bentuk sinetron film berseri dan disiarkan oleh Televisi Pendidikan Indonesia TPI. Karya-karya Kho Ping Hoo mempunyai arti penting di hati para pembaca Indonesia, terutama pada para keturunan Tionghoa. Karena pada masa tersbebut kebudayaan Tionghoa mendapat tekanan di pemerintah Indonesia. Dalam karya2 tulisannya juga terkandung sumber informasi seputar kebudayaan Tionghoa, seperti sejarah, agama, bahkan moral yang terkandung dalam ceritanya, meskipun itu hanya cerita fiksi. Walau dalam cerita silatnya banyak fakta sejarah dan tata telak tempat Tiongkok yang tidak sesuai kenyataan karena tidak memiliki akses ke sumber2 sejarah Negeri Tiongkok, namun cerita silat karya Kho Ping Hoo tetap berkesan di hati para pembaca. Bahkan karya2 tulisannya membentuk watak bagi para penggemarnya, membangkitkan rasa ingin tahu dan keinginan pembaca untuk belajar lebih banyak tentang budaya Tiongkok. Tutur kata dan gaya bahasa yang khas digunakan oleh Kho Ping Hoo dalam menulis mewakili rasa keperanakannya. Peran Kho Ping Hoo bagi kehidupan sastra di Indonesia membawa pengaruh yang sangat kuat dalam memotivasi penulis2 Indonesia untuk membuat jenis cerita yang sama. Diantaranya yang mengikuti jejak Kho adalah Mintardja, Herman Pratikto, dan Arswendo Atmowiloto. D. Daftar Karya Cerita Silat Cersil Kho Ping Hoo yang Terkenal Tampak buku2 cerita silat karya Kho Ping Hoo. Di era 1970-1990 tempat usaha penyewaan buku begitu laris bak kacang karena judul2 buku ini. ♦ Versi Bahasa Hokkian/Mandarin Bu kek sian su無極先師/武客仙士 Wuji Xianshi/Wu Ke Xian Shi Pek liong po kiam 白龍寶劍 Bai Long Baojian Bu beng kiam hiap 無名劍俠 Wuming Jianxia Ang lian li hiap 紅蓮女俠 Honglian Nu Xia Pek i li hiap 白衣女俠 Baiyi Nu Xia Sin kun bu tek 神拳無敵 Shen Quan Wudi Kang lam koai hiap 江南怪俠 Jiangnan Guai Xia Ji liong jio cu 雙龍追珠 Shuanglong Zhui Zhu Huang ho sian li黃河仙女 Huanghe Xiannu Ang hong cu/Ang li hiap 洪女俠 Hong Nu Xia Ouw yang heng te 歐陽杏茶 Ouyang Xing Cha Tian hong kiam 天峰劍 Tian Feng Jian Ouw yan cu 歐陽子 Ouyang Zi Gin kiam gi to 銀劍儀道 Yin Jian Yi Dao Liong san tung hiap 龍山洞俠 Long Shandong Xia Thian lok si 天祿寺 Tian Lu Si Sam liong sia tian 三龍謝天 San Long Xie Tian Kang lam ciu hiap 江南柔俠 Jiangnan Rou Xia Hoa san tai hiap 華山大俠 Huashan Da Xia Santung Koai hiap 山東怪俠 Shandong Guai Xia Siauw lim sam li hiap 小林三女俠 Xiaolin San Nu Xia Ang liong pek ho 紅龍白虎 Hong Long Baihu Hwee tian mo li 飛天魔女 Feitian Mo Nu Toat beng mo li 奪命魔女 Duo Ming Mo Nu Hwa i enghiong 華裔英雄 Huayi Yingxiong Sam liong to 三龍道 San Long Dao Sin kiam hok mo 神劍伏魔 Shen Jian Fu Mo Sian li eng cu 仙女英子 Xiannu Yingzi Ang i nio cu 紅衣娘子 Hongyi Niangzi Bu eng cu 無影珠 Wu Ying Zhu Kim kong kiam金光劍 Jinguang Jian Cheng hoa kiam 精華劍 Jinghua Jian Kun lun hiap kek 崑崙俠客 Kunlun Xiake Pek Lui Eng 白雷英 Bai Lei Ying Kiam Ong 劍王 Jian Wang Hei Liong Kiam 黑龍劍 Hei Long Jian Yu Liong Kiam玉龍劍 Yu Long Jian Bukek Siansu, salah satu judul cerita silat Kho Ping Hoo yang paling terkenal ♦ Versi Judul Bahasa Indonesia 1. Serial Bu Kek Sian Su 無極先師; Wu Ji Xian Shi Bu Kek Sian Su 1973 Suling Emas 1968 Cinta Bernoda Darah 1968 Mutiara Hitam 1969 Istana Pulau Es 1970 Kisah Pendekar Bongkok 1982 Pendekar Super Sakti 1971 Sepasang Pedang Iblis 1972 Kisah Sepasang Rajawali 1973 Jodoh Rajawali 1974 Suling Emas dan Naga Siluman 1976 Kisah Para Pendekar Pulau Es 1978 Suling Naga 1979 Kisah si Bangau Putih 1981 Kisah si Bangau Merah 1984 Si Tangan Sakti 1985 Pusaka Pulau Es 1988 2. Serial Pedang Kayu Harum 香木劍; Xiang Mu Jian Pedang Kayu Harum 1970 Petualang Asmara 1972 Dewi Maut 1974 Pendekar Lembah Naga 1975 Pendekar Sadis 1976 Harta Karun Jenghis Khan 1978 Siluman Gua Tengkorak 1978 Asmara Berdarah 1978 Pendekar Mata Keranjang 1980 Ang Hong Cu 1982 Jodoh Si Mata Keranjang 1984 Pendekar Kelana 1987 3. Serial Pendekar Sakti 武奔師; Wu Ben Shi Pendekar Sakti Ang I Niocu Pendekar Bodoh Pendekar Remaja 4. Serial Dewi Sungai Kuning 黃河仙女; Huang He Xian Ni Dewi Sungai Kuning Kemelut Kerajaan Mancu 5. Serial Gelang Kemala 玉手鐲; Yu Shou Zhuo Gelang Kemala Dewi Ular Rajawali Hitam 6. Serial Pedang Naga Kemala 玉龍劍; Yu Long Jian Pedang Naga Kemala Pemberontakan Taipeng 7. Serial Iblis Dan Bidadari 鬼與仙; Gui Yu Xian Iblis Dan Bidadari 1961 Lembah Selaksa Bunga 1991 8. Serial Si Pedang Tumpul 鈍劍思; Dun Jian Shi Si Pedang Tumpul Asmara Si Pedang Tumpul 9. Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis 雙龍伏魔 Sepasang Naga Penakluk Iblis Bayangan Iblis Dendam Sembilan Iblis Tua 10. Serial Sepasang Naga Lembah Iblis 雙龍鬼谷; Shuang Long Fu Mo Sepasang Naga Lembah Iblis Pedang Naga Hitam 11. Serial Raja Pedang 劍王; Jian Wang Raja Pedang 1966 Rajawali Emas 1967 Pendekar Buta 1967 Jaka Lola 1968 12. Serial Pendekar Tanpa Bayangan 無影麈; Wu Ying Zhu Pendekar Tanpa Bayangan Harta Karun Kerajaan Sung 13. Serial Pendekar Budiman 華裔英雄; Huayi Yingxiong Pendekar Budiman 1962 Pedang Penakluk Iblis 1963 Tangan Geledek 1964 14. Lain-Lain Patung Dewi Kwan Im 1960 Komik silat Patung Dewi Kwan Im karya Kho Ping Hoo Sebenarnya tidak sedikit cerita silat dari Kho Ping Hoo merupakan “contekan” karya penulis cerita silat wuxia Tiongkok, seperti Chin Yung, Liang Yusheng, Ni Kuang, dan Gu Long. Contohnya pada cerita silat yang berjudul “Si Pedang Tumpul 鈍劍思”, beliau mengambil sebuah plot dari karya Jin Yong yang berjudul “Sia Tiauw Eng Hiong 神鵰俠侶; Shen Diao Xia Lu”. 1. Pedang dan Kitab Suci; The Book and the Sword 書劍恩仇錄; Shu Jian En Chou Lu 1955 2. Pedang Ular Emas; Sword Stained with Royal Blood 碧血劍; Bi Xue Jian 1956 3. Legenda Pendekar Pemanah Rajawali; The Legend of the Condor Heroes 射鵰英雄傳; She Diao Yingxiong Chuan 1957 4. Si Rase Terbang dari Pegunungan Salju; Fox Volant of the Snowy Mountain 雪山飛狐; Xueshan Feihu 1959 5. Kembalinya Pendekar Pemanah Rajawali; The Return of the Condor Heroes 神鵰俠侶; Shen Diao Xia Lu 1959 6. Kisah Si Rase Terbang; Other Tales of the Flying Fox 飛狐外傳; Feihu Waizhuan 1960 7. Kuda Putih Menghimbau Angin Barat; Swordswoman Riding West on White Horse 白馬嘯西風; Baima Xiao Xifeng 1961 8. Sepasang Golok Mustika; Blade-dance of the Two Lovers 鴛鴦刀; Yuanyang Dao 1961 9. Kisah Pedang Langit dan Golok Pembunuh Naga; The Heaven Sword and Dragon Saber 倚天屠龍記 Yitian Tu Longji 1961 10. Pedang Hati Suci; A Deadly Secret 連城訣; Liancheng Jue 1963 11. Pendekar Negeri Tayli; Demi-Gods and Semi-Devils; 天龍八部; Tianlong Ba Bu 1963 12. Medali Wasiat / Kisah Para Pendekar; Ode to Gallantry 俠客行; Xiakexing 1965 13. Pendekar Hina Kelana; The Smiling Proud Wanderer 笑傲江湖; Xiao Ao Jianghu 1967 14. Kaki Tiga Menjangan; The Deer and the Cauldron 鹿鼎記; Ludingji 1969–1972 15. Pedang Gadis Yueh; Sword of the Yue Maiden 越女劍; Yue Nu Jian 1970 Karena dalam kurun waktu 1955-1970, terdapat 15 karya cerita silat/novel Jin Yong yang begitu melegenda, sehingga bisa jadi Kho Ping Hoo terinspirasi usai membaca buku-bukunya. Post navigation
Home Kho Ping Hoo Suling Emas Senin, 12 Juni 2017 - 1800 WIBloading... Suling Emas, karya Asmaraman S Kho Ping Hoo A A A Kho Ping Hoo, Suling EmasKwee Seng pernah mengikuti ujian di kota raja namun gagal. Semenjak itu, ia tidak pernah kembali ke kampung halamannya, yaitu di sebuah dusun kecil di kaki gunung Luliang-san, karena ayah bundanya sudah lama meninggal dunia oleh wabah penyakit ketika ia masih kecil. Ia merantau sebagai seorang kang-ouw yang tak terkenal karena semua sepak terjangnya ia sembunyikan. Hanya beberapa orang tokoh besar saja di dunia kang-ouw yang mengenal pendekar sakti muda ini, malah diam-diam ia diberi julukan Kim-mo-eng pendekar Setan Emas. Ia disebut setan karena sepak terjangnya seperti setan, tak pernah memperlihatkan diri. Akan tetapi ia di sebut emas yang mengandung maksud bahwa pendekar ini berhati emas, membela kebenaran dan keadilan, pembasmi kelaliman dan kekejaman. Namun nama ini hanya kalangan atas terbatas saja perna mendengar, di dunia kang-ouw nama Kim-mo-eng Kwee Seng tak pernah Seng tidak berbohong ketika mengatakan kepada ke tujuh orang pendekar pada malam yang lalu bahwa ia adalah seorang pelancong yang kebetulan lewat di kota raja Nan-Cao. Memang ia tidak mempunyai niat untuk menjadi tamu Beng-kauw, sungguhpun nama Pat-jiu Sin-ong bukanlah nama asing baginya. Ia tidak suka tokoh besar itu diangkat menjadi koksu, hal yang ia anggap sebagai bukti kerakusan akan kedudukan dan kemuliaan. Maka baginya, hal itu tidak perlu diberi selamat. Apalagi mendengar berita tentang putri Pat-jiu Sin-ong yang hendak memilih jodoh, seujung rambutpun tiada niat di hatinya untuk ikut-ikutan memasuki sayembara, bahkan ingin melihat si jelita pun sama sekali ia tidak ada nafsu. Memang demikianlah watak Kwee Seng. Ia memandang rendah kepada hal-hal yang dianggapnya tidak benar atau menyimpang daripada kebenaran. Padahal harus diakui bahwa ia adalah seorang pemuda yang baru berusia dua puluh tiga tahun, yang tentu saja sebagai seorang pemuda normal, selalu berdebar-debar apabila melihat seorang gadis cantik. Ia seorang pemuda yang pada dasarnya memiliki watak romantis, suka akan keindahan, suka akan tamasya alam yang permai, suka akan bunga yang indah dan harum, dan tentu saja bentuk tubuh seorang dara jelita. Akan tetapi, kekuatan batinnya cukup untuk menekan semua perasaan ini dan membuat ia tetap pembunuhan di dalam rumah penginapan itu membangkitkan jiwa satrianya. Ia mendengar keterangan sana-sini dan tahu bahwa tujuh orang pemuda itu adalah calon-calon pengikut sayembara untuk meminang puteri Beng-kauwcu. Mendengar pula betapa pemuda-pemuda itu sudah kegilaan akan Nona Liu Lu Sian, dara rupawan yang pada pagi hari kemarin lewat didepan rumah penginapan. Karena ini, diam-diam Kwee Seng menghubungkan semua itu dengan pembunuhan. Agaknya karena mereka itu tergila-gila kepada Liu Lu Sian maka malam ini menjadi korban pembunuhan keji. Entah apa yang menjadi dasar pembunuhan, entah cemburu atau bagaimana. Namun yang pasti, untuk mencari pembunuhnya ia harus datang menjadi tamu Beng-Kauw!Inilah yang membuat Kwee Seng terpaksa menunda perantauannya dan bersama dengan para tamu lainnya, ia pun melangkahkan kaki menuju ke gedung keluarga Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, Ketua Agama Beng-Kauw, dan juga calon guru Negara Nan-Cao. Bersambungdwi Berita Terkini More 3 jam yang lalu 3 jam yang lalu 4 jam yang lalu 5 jam yang lalu 5 jam yang lalu 5 jam yang lalu
dunia kang ouw asmaraman kho ping hoo